14. Maaf tak terucap.

1.4K 95 35
                                    

🌸🌸🌸

Malam semakin dingin khas pedesaan. Tidak ada deru kendaraan, hanya sesekali terdengar suara sepeda motor yang memecah kesunyian.

Dito masih meresapi dinginnya hari di teras pendopo rumah Ibunya. Nyanyian jangkrik dan gemerisik daun-daun tertiup angin yang menemani membuat hatinya kian dingin. Secangkir teh yang sudah tidak mengepulkan hangat masih utuh belum tersentuh sama sekali. Masih di sana, belum bergerak dari terakhir Isma meletakkannya.

Angannya menerawang, Dito melamunkan masa lalunya dan yang terjadi dalam hidupnya kini.

Andai hidup bisa diulang, mungkin satu permintaannya agar kembali ke masa di mana dia tidak akan menemui penyesalan kini.

Ego yang menuntut balas dendam menggerakkan kakinya ke jalan yang penuh dosa. Hanya untuk memuaskan ego dan harga diri, Dito mengambil jalan yang penuh aib.

Apakah sekarang pikirannya senang? Tidak, dia tidak merasakan kepuasan setelah berhasil membalas dendam. Hatinya malah semakin merasa bersalah, resah.

Dito hanya mampu menghela nafas. Mengangkat tatakan dan cangkir, membawanya masuk ke dalam rumah. Setelah meletakkan cangkir di tempat cuci piring, Dito beranjak ke kamar tidurnya.

Pelan membuka pintu,  Dito tidak ingin mengganggu tidur nyenyak isma.

Dito masih bergeming. Memandang tubuh yang memunggunginya di ranjang. Nafas yang teratur manandakan bahwa Isma sudah terlelap. Perlahan Dito mendekat dan duduk di samping Isma berbaring.

Tangannya hendak terulur ingin menyentuh puncak kepala yang masih tertutup jilbab instan itu, namun urung. Dito menarik kembali dan mengepalkannya. Sungguh, dirinya merindu sosok yang kini memunggunginya berada dalam dekapan.

"Maaf," lirih Dito dan beranjak dari pembaringan. Menggelar anyaman daun pandan, Dito mengambil bantal dan sarungnya di dalam lemari dan tidur di lantai.

Dengkur halus mulai terdengar membuat mata Isma terbuka. Bulir bening kembali mengalir di sudut matanya mendengar permintaan maaf suaminya tadi. Tubuhnya seolah terlelap, namun nyatanya wanita itu menangis dalam sunyi. Sendiri.

Mencoba menutup mata, Isma berharap ini semua hanya mimpi belaka. Semoga kebahagiaan akan hadir dalam harinya esok nanti.

🌸🌸🌸

Setelah solat subuh di mushola, Dito tidak kembali ke rumah ibunya, hari ini dia harus bekerja.

Sampai di rumah, keadaannya pun tidak membuat hatinya membaik. Rumah sepi membuat pikirannya pun semakin sunyi. Tak ingin terlarut dalam angan, Dito naik ke lantai dua dan berganti pakaian kerja.

[Bisa kita bertemu?] sebuah pesan Dito ketik di ponsel-nya.

[Bisa. Kapan?] setelah beberapa saat menunggu akhirnya pesan itu mendapat jawaban.

[Sore nanti. Ku kirim alamatnya, kita ketemu di sana.] balasan yang diketik Dito dan memasukkan ponselnya ke saku celana bahan. Mengambil tas kerjanya, Dito pun berangkat bekerja.

🌸🌸🌸

Sudah setengah jam lebih Isna menunggu di tempat yang sudah di janjikan Dito untuk bertemu. Tubuhnya gusar, sesekali ia melirik pintu masuk kafe berharap pujaan segera nampak.

Segala usaha ia kerahkan. Dari berdandan habis-habisan dan berpakaian yang sangat menggoda iman, bahkan beberapa kali lirikan penuh minat dari laki-laki tertangkap oleh penglihatannya. Isna tak risih, malah makin percaya diri. Dia yakin, Dito akan bertekuk lutut kembali.

[kau sudah sampai?] Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Isna. Mengetahui siapa pengirim pesan, jemari lentiknya segera mengetik jawaban.

[Aku di dalam. Meja 12, di pojokan,] balasan Isna kepada Dito memberitahu tempatnya duduk di dalam kafe. Tak berapa lama terlibat siluet tubuh yang dinantikannya masuk ke dalam kafe.

Bak remaja yang sedang di mabuk cinta, Isna merapikan riasan dan dandanan rambut agar terlihat sempurna di mata kekasihnya nanti.

"Hai, Say ...," ucapan Isna terjeda karena Dito menghindar saat wanita itu ingin memeluk mesra sang selingkuhan.

"Kita di tempat umum, dan jangan pernah panggil aku sayang lagi," kata Dito terdengar sarkas. Laki-laki itu menggeret kursi di depan Isna dan duduk di sana.

"Ada apa?" Kini giliran nada bicara Isna terdengar alot dan duduk di depan Dito.

"Mulai sekarang kita tidak ada hubungan apa-apa lagi." Isna termangu. Untuk sesaat dia merasa bingung dengan ucapan Dito.

"Kau memutuskan hubungan kita?"

"Hubungan? Ada hubungan apa diantara kita?" Dito menjawab pertanyaan Isna dengan pertanyaan pula.

Isna terdiam. Dia pun bingung dengan hubungannya selama ini dengan Dito.

"Kau mau lepas tanggung jawab!" Isna tetap tenang, tapi cukup mengintimidasi.

"Tanggung jawab apa?"

"Jadi kau menganggap aku ini apa selama ini?" tanya Isna sambil menyedekapkan kedua tangannya di dada.

Dito menaruh kedua tangannya si meja dan berkata, "Di antara kita hanya hubungan timbal balik. Aku mendapatkan kepuasan dan kau mendapatkan bayaran." Muka Isna mulai memerah menahan amarah.

Plak!

Isna berdiri dan mendaratkan satu tamparan di pipi kiri Dito. Wajah itu tertoleh ke kanan saking kuatnya tamparan yang Isna berikan. Dito kembali memandang Isna yang sekarang terlihat sangat menakutkan.

"Kau menganggapku pelacur?" kata Isna kembang kempis. Dadanya naik-turun menahan geram.

"Ayolah! Tak mungkin kau memakai hati memaknai hubungan kita selama ini."

"Brengsek!" umpatan Isna kepada Dito.

Plak!

Kembali tamparan Isna berikan di pipi sebelah kanan Dito. Lagi-lagi, wajah laki-laki itu sampai tertoleh ke samping karena kuatnya gamparan, bahkan Dito merasakan asin di sudut bibirnya.

Adegan tamparan itu tak pelak menjadi tontonan gratis pengunjung kafe. Ada yang kasak-kusuk, ada yang acuh, ada juga yang mengabadikan dalam bentuk vidio. Untunglah suasana Kafe yang sedikit temaram di tambah hiasan berupa pembatas ruangan membuat wajah mereka berdua tidak terekspos sempurna.

"Aku akan tetap bertanggung jawab kepada Dita. Akan aku transfer uang untuk kebutuhannya sampai nanti dia lulus kuliah."

"Dasar manusia tidak punya hati!" desis Isna yang masih berdiri.

"Hati? Aku masih mau memenuhi kebutuhannya, dan kau bilang aku nggak punya hati? Oh, bagaimana kalau kita lakukan tes DNA saja," kata Dito membuat Isna semakin berang.

"Kau meragukan Dita?" Dito hanya mengendikkan bahu.

Dito menyender di kursi, mengangkat kaki kanan dan menyilangkannya, tangannya ia sedekapkan di dada. Terlihat arogan.

"Ayolah! Kau hanya mengatakan kalau dia anakku dan waktu itu sampai kini kamu pun masih istri siri Sandi. Haruskah aku mempercayaimu seratus persen? Jangan bercanda!" Dito serius dan terlihat tidak main-main dengan ucapannya.

Isna merah padam. Giginya bergemelatuk, pandangannya tidak bersahabat.

Byur!

Satu gelas orange jus  mengguyur badan Dito. Laki-laki itu hanya diam, merasa mungkin ini yang patut ia dapatkan karena mempermainkan hati anak orang.

"Setelah semua yang mau lakukan terhadapku, dengan seenaknya kau mau mendepakku? Kau belum mengenal aslinya Isna!"

Dito tergelak. "Ingat! Aku membayarmu mahal untuk semua jasamu," kata Dito di akhiri senyum sinis.

"Kau tidak akan bisa lepas dari tanganku! Camkan itu!" ancaman Isna yang masih menggenggam erat gelas.

Prang!

Isna membanting gelas orange jus itu dan meninggalkan Dito dengan wajah penuh amarah.

Dito hanya menghela nafas. Dia menurunkan kaki dan meletakkan kedua tangannya ke meja kembali.

Malu. Dito sangat malu, tapi entah mengapa? Hatinya malah merasakan satu kelegaan yang luar biasa.

🌸🌸🌸

Pebinor Bucin.(Sudah Tamat di Kbm-app) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang