Di Ambang Senja

27 4 7
                                    

Dia keluar dari sana, melangkahkan kaki menuju tepi teras toko buku kecil yang masih berdiri kokoh. Tangannya tak lepas sedetik pun dari genggaman seseorang di sebelahnya. Menatap penuh harap pada gadis itu.

Tertawa, kemudian menepuk pelan bahu gadisnya yang terkena cipratan hujan.

Aku ikut tertawa bersama mereka, di sebrang sambil meminum secangkir espresso. Pahit, tapi tidak lebih pahit dari kata-kata manisnya sebelum ini.

Sial, aku tertawa hambar melihat mereka yang saling merangkul satu sama lain. Pandanganku menengadah ke atas langit yang tertutup jendela kaca besar. Mataku memanas seolah ingin ikut mengeluarkan air dari sana.

Hujan.

Bukan lagi melodi indah sore hari. Bukan lagi rintik yang jatuh mewarnai bumi. Seakan menjadi perantara kesedihanku saat ini.

Tidak ada lagi senyum secerah jingga. Tidak, bukan tidak ada lagi. Hanya jingganya sudah kembali menemukan tempatnya pulang. Menemukan kembali yang sempat tersesat. Menemukan kembali senjanya.

'Aku bukan senjamu ya, Ngga.'

•••

Aku melenggangkan kakiku masuk ke sebuah coffee shop sederhana yang letaknya dekat dengan sekolahku. Ini bukan kali pertamaku ke sini. Namun, seolah kafe ini menjadi rumah ketiga walau hanya untuk minum secangkir kopi, sambil menikmati senyum manisnya yang bertengger tiap kali pelanggan datang.

Namanya Ingga- itu kata pengakuan teman-temanku yang sering nongkrong di kafe sepertiga. Laki-laki bertampang manis dengan rambut semi gondrongnya yang rapi. Laki-laki yang kerap meracik kopi dengan apron cokelat melekat badan tegapnya.

Ia menghampiriku sambil tersenyum hingga terlihat lesung pipinya yang manis. "Gimana? Masih kuat minum espresso pahit sampai besok, Princess?" katanya sambil duduk di depanku, lalu menggeser sedikit dedaunan palsu yang menghalangi pandangan.

"Apa? Enggak salah denger?"

Ia terkekeh kecil, begitu juga aku yang ikut tersenyum memerhatikan matanya yang menyipit tiap kali tertawa.

"Oke, satu espresso dan ...," ucapnya mengambang, membiarkanku melanjutkannya untuk memesan sesuatu.

"Tiramisu, of course."

Ia mengangguk pelan, lalu pergi sambil bersenandung kecil yang masih dapat kudengar. Kemudian beralih ke meja bar andalannya untuk membuat secangkir espresso pahit yang sialnya aku menyukai itu.

Aku suka secangkir espresso buatannya. Aku suka saat dia menghantarkan minuman itu tepat di depanku. Aku suka saat dia tersenyum manis waktu melihatku pertama kali meminum kopi. Aku suka saat rambut panjangnya yang dikuncir. Aku suka saat dia berdiri membelakangi kaca jendela besar untuk menghalangiku melihat sinar senja.

Ya Tuhan, bagaimana bisa aku menyukai semua yang dia lakukan. Pertanyaan itu terus mengelilingi kepalaku, bagaimana bisa?

Aku terkekeh geli, bahkan satu lembar kertas pun tak dapat menangkup semua cerita tentangnya. Sial, ia melirikku dengan wajah riangnya sekaligus memamerkan gigi-gigi putihnya.

Pandanganku beralih pada mading pojok pesan di sebelah kiri. Memerhatikan kertas pesan milikku yang masih putih bersih, tepatnya di bawah kertas berwarna pink.

'Senja enggak akan kehilangan jingganya' -Senjara.

"Ya, Senjara. Kamu enggak bakal kehilangan jinggamu, kok. Paling dicuri bentar sama hujan," gumamku seraya tertawa kecil.

Pandanganku mengawang, menatap gumpalan awan yang sedikit menghalangi matahari sore. Ia benar, senja tidak akan pernah kehilangan jingganya. Namun, sekelebat bayangan saat pertama kali aku datang ke sini memenuhi rongga kepalaku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 04, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

untuk diingatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang