Suara bell pada caffe berdentang pelan. Menandakan seorang pengunjung masuk. Aku melirik pelan. Berharap orang yang ku tunggu baru saja tiba. Sayangnya, yang tiba itu adalah sepasang muda mudi berpakaian putih abu-abu. Dari cara mereka bergenggaman tangan, aku tahu mereka sedang dalam suatu hubungan. Tidak ada seorang gadis dan laki-laki yang akan saling bergenggaman, bila status mereka adalah teman. Seperti aku dan orang yang aku tunggu saat ini. Kami tidak akan bergenggaman tangan seperti pasangan itu. Walaupun aku ingin. Aku tak munafik. Aku memang tertarik pada pria yang sedang ku tunggu ini. Dan sedikit berharap kami akan memasuki fase yang orang sebut pacaran. Tapi, itu hanya tinggal harapan. Karena aku yakin, pria ini menemuiku pun hanya untuk satu tujuan yang membuatku patah hati hanya untuk memikirkannya saja. Dia ingin mendapatkan sahabatku. Melalui diriku. Satu kata untukku, menyedihkan!
Suara bell caffe berdentang kembali. Seorang pria mengenakan kemeja slim fit biru muda dan celana hitam panjang. Di lengan kanannya di sampirkan jasnya dan tas laptopnya di tenteng di tangan kirinya. Khas pekerja kantoran yang pulang kerja. Ia memang bekerja di salah satu perusahaan swasta asing. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh caffe. Sampai mata kami bertemu, ia pun memberikan senyum khasnya dengan lesung pipi di pipi kirinya. Ia memang manis dan tampan. Astaga! Sadarkan aku ya Tuhan!
"Kamu menunggu lama?" tanyanya yang duduk di kursi hadapanku.
"Tidak juga, mungkin 15 menit. Aku memang datang duluan. Pekerjaanku selesai lebih cepat hari ini" kataku, lalu menyembunyikan novel yang menemaniku selama 15 menit ini.
"Kamu sudah pesan?" tanyanya sambil meneliti lemon tea di mejaku.
"Yeah, hanya minuman" kataku tersenyum.
Ia memanggil Waitress dan memesankan minuman dan snack untuk menemani percakapan kami nanti.
"Kopi 1, pancakes 1, banana waffles choco pakai kacang 1" katanya.
Waitress itu menyebutkan pesanannya lagi, dan berlalu.
"Aku tidak salah memesan 'kan?" tanyanya.
"Maksudmu?"
"Banana waffles choco pakai kacang?" tanyanya.
Aku tertegun. Itu memang pesanan favoritku.
"Ya...." kataku sedikit ragu, "kamu tahu darimana?"
"Regina" katanya.
Aku sedikit terkejut. Regina? Apa aku boleh GR?
"Waktu kami bertemu kemarin aku tidak sengaja mengetahuinya" katanya lagi menghapus harapanku.
Aku hanya tersenyum tipis.
"Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?" tanyaku akhirnya.
Aku hanya berusaha tidak membuang waktu lebih lama bersamanya. Itu merusak kerja jantungku dan hatiku. Secara bersamaan bergetar tak karuan dan menorehkan luka pada setiap getarannya.
Ia sedikit salah tingkah pada pertanyaanku. Ia mengelus tengkuknya.
"Ehm, aku hanya ingin berbincang denganmu" katanya gugup. Atau takut.
Situasi ini pernah ku alami. Saat aku dan Regina di masa kuliah. Dani, nama pria itu. Ia mengajakku makan siang di kantin dan bertingkah seperti pria di hadapanku ini. Tentu saja aku sangat berbunga-bunga saat itu. Karena ku kira Dani akan menembakku. Namun ternyata, aku salah. Awalnya ia memang grogi. Grogi karena takut aku menolak membantunya PDKT dengan Regina! Kampret! Aku seperti orang tolol saat itu. Dan aku tidak ingin salah paham lagi.
