Lembaran Keempat Belas

3.8K 585 27
                                    

"Kenapa?"

Untuk pertama kalinya setelah kebungkamannya yang lama, Renjun memberanikan diri untuk membuka mulutnya dengan pertanyaan sederhana. Pertanyaan satu kata yang mewakili seluruh labirin tanda tanya dalam benaknya. Pertanyaan sederhana yang selama ini menghantui hidupnya di istana.

Ia selalu dihadapkan pada situasi yang membingungkan, lalu tenggelam dalam kebingungan yang semakin mendalam. Enam bulan tinggal di istana dan Renjun merasa selalu dipermainkan oleh orang-orang bertopeng ini. Raja yang selalu terlihat dingin, istrinya yang misterius, dan anak mereka yang temperamen dan seolah begitu tertutup.

Anak mereka, suaminya.

Terkadang Renjun ingin marah, marah pada siapa saja yang membuatnya menjadi seolah-olah orang bodoh yang tak mengerti apa-apa. Tak mengerti untuk apa ia ada di sini, tak mengerti mengapa ia harus menikah dengan si pangeran yang bahkan masih tak dapat ia pahami hingga saat ini. Orang-orang mengatakan tentang larangan ini dan keharusan itu, tapi tak pernah sekalipun menjelaskan mengapa ia harus melakukan ini dan itu.

Renjun tak yakin akan perasaannya. Tapi entah mengapa, kadangkala ia merasa takut. Takut bahwa pilihannya untuk tetap mengikuti alur yang harus dipatuhinya ini justru menjatuhkannya ke dalam jurang yang akan membuatnya menyesal suatu saat nanti.

"Kerajaan tidak mengharapkan pertanyaan apapun."

Ratu Sooyeon mulai membuka mulutnya, mengawali jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan kepadanya setelah kebungkaman yang lama. Wanita setengah baya yang kecantikannya tak lekang oleh usia itu memandang sosok di hadapannya dengan iris segelap mendung.

"Tapi aku akan mencoba mengerti jika memang kamu menginginkan jawabannya."

"Pada dasarnya kami tak pernah ingin menjerumuskan orang lain dengan memaksanya untuk masuk ke dalam istana. Pernikahanmu dengan Jeno telah kami pikirkan matang-matang dengan mempertimbangkan banyak hal."

"Itu tidak mewakili jawaban atas pertanyaan saya, Yang Mulia."

Renjun memberanikan diri untuk menatap getir risau dalam mata tua di hadapannya. Lelaki manis itu mengepalkan tangannya erat, mencoba menahan luapan emosinya untuk tetap menuntut orang di depannya. Ia tidak hanya merasa takut, namun juga lelah luar biasa. Renjun merasa telah begitu lama berjalan dalam ketidakpastian di dunia yang dipenuhi tanda tanya ini, dan mungkin akan terus seperti itu. Ia merasa lelah tiap kali mengira-ngira akan seperti apa hidupnya nanti di istana yang dingin dan asing ini.

Setidaknya, ia butuh suatu alasan yang dapat membuatnya yakin untuk tetap bertahan di sini.

"Jeno bukan putraku. Aku tak pernah melahirkannya."

Dan, apakah Jeno juga akan tetap menjadi sebuah pengecualian untuk ia miliki sebagai sebuah keyakinan?

"Aku tahu mungkin kau tidak asing dengan itu. Orang-orang di luar sana mulai menerka-nerka, membuat asumsi tentangku dan Jeno. Ketahuilah bahwa istana tidak pernah mau ambil pusing dengan itu, karena kami tahu bahwa mereka tidak tahu apa-apa soal masalah yang kami hadapi di dalamnya.

Kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan kami hadapi, termasuk soal keselamatan Jeno."

Mata Renjun mengerjap sungkan, tenggorokannya terasa tercekat hingga suaranya tertahan. Ratu Sooyeon yang memalingkan wajah lantas membuatnya semakin tak mampu berkata-kata. Benaknya kembali terasa berat oleh sebuah substansi baru yang diterimanya.

"Jangan memimpikan apapun dan hidupmu akan baik-baik saja, Renjun-ah...."



-


Pangeran Sungmin tahu bahwa istrinya adalah seorang sosialita yang memiliki banyak teman dari berbagai kalangan dan kadangkala membawa satu atau beberapa temannya itu untuk berkunjung ke rumah, sekedar minum teh atau merencanakan kunjungan ke beberapa tempat sebagai agenda mereka. Tapi kali ini, tampaknya ia perlu terkejut dengan seseorang yang dibawa istrinya.

The Little Jeno [Noren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang