PROLOG

4 0 0
                                    


Aku duduk di kursi kemudi mobilku. Suara nafasku bergema di seluruh kabinnya. Jantungku berdetak cepat mengikuti tempo nafasku, menghasilkan harmoni sumbang yang terpantul-pantul di kabin mobil yang pengap ini.

Aku masih tak mempercayai apa yang baru saja aku lakukan. Emosi telah mengambil alih porsi logika yang biasanya mendominasi otakku. Ketakutan akan masa depan menyebabkan aku berani melakukan tindakan yang tak mungkin aku lakukan.

Aku melihat belakang mobil melalui spion tengah. Siluetnya terpampang jelas di sana. Siluet wanita yang baru saja aku bunuh. Darahnya masih ada ditanganku yang gemetar, tangan yang sama yang aku gunakan untuk mencekiknya hingga tak sadarkan diri. Aku tak tahu pasti mana yang membuatnya kehilangan nyawa. Cekikan itu atau pukulan batu bertubi-tubi yang menghancurkan tengkoraknya. Yang aku tahu keduanya dilakukan oleh kedua tanganku yang tak bisa berhenti bergetar.

Aku berteriak sekeras-kerasnya di kursi kemudi, sembari membenturkan kepalaku di setirnya. Berharap bisa menghentikan getar tanganku, menormalkan nafas dan detak jantungku. Hasilnya masih tetap. Dan tentu saja tidak berhasil.

Andai..

Andai adalah kata yang sekarang muncul di pikiranku. Menari Dan Melenggak-lenggok gembira menciptakan satir di otakku yang kebingungan.

Andai aku lebih setia terhadap istriku.

Andai aku tak tergoda oleh wanita bernama Lily Itu.

Bahkan pengandaian-ku lari lebih jauh ke masa-masa dimana saldo keuanganku tak melebihi angka satu juta rupiah. Saat aku bukanlah siapa-siapa, lelaki kere yang tak memiliki uang dan jabatan.

Andai aku tetap seperti itu. Aku pasti masih menjadi suami dan ayah yang setia.

Andai saja aku tidak berhasil memenangkan tender asuransi di perusahaan multinasional itu. Pastilah aku masih tetap menjadi lelaki kere.

Aku menggeser sudut spion tengah sehingga sekarang benda itu memantulkan wajahku. Aku menatap refleksi wajahku dan aku baru menyadari betapa kekayaan dan jabatan yang aku punya hanya membawaku ke malapetaka.

Aku merogoh kantong plastik minimarket yang ada di sebelahku. Mengambil minuman soda yang tadi kami beli di minimarket. menegak habis seluruh isinya hanya dalam satu kali tegukan. Berharap kandungan gula di botol itu bisa membuatku tenang.

Ledakan Dopamin yang dihasilkan gula membuat pikiranku lebih jernih sekarang. Aku mulai memikirkan cara bagaimana aku akan menghadapi semua ini. Menghubungi polisi dan mengakui semuanya mungkin adalah solusi rasional, tapi bayangan penjara dan reaksi keluargaku membuatku cepat-cepat mencoret solusi itu.

Aku merenggangkan ikatan dasiku, berusaha membuat rileks tubuh dan pikiranku. Aku celingak celinguk di dalam mobil untuk mencoba mencari sudut pandang baru, Menimbang nimbang solusi lain yang tak berhubungan dengan Polisi dan Penjara.

Solusi lain muncul di benak-ku. Menyikirkan mayat itu dengan cara dibakar atau dibuang ke sebuah sungai. Solusi ini pun dengan cepat aku lupakan. Sudah terlalu banyak para pembunuh melakukan hal itu dan selalu berakhir dengan tertangkapnya pelaku oleh kepolisian. Dan aku tidak berencana untuk menambah daftar itu.

Aku kembali menebar pandanganku ke sekeliling mobil. Pandanganku berhenti cukup lama saat aku melihat tasku yang ada di kursi belakang. Bukan tas itu yang jadi fokus pikiranku saat ini melainkan laptop yang ada di dalamnya. Laptop yang sudah menemaniku selama kurang lebih lima tahun.

Lima tahun, tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Lima tahun lalu lah aku berhasil memenangkan tender itu. Keberhasilan yang berhasil mengangkat derajatku. Aku masih ingat betapa gembiranya aku saat itu. Semua kerja kerasku terasa terbayar.

GODINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang