Kita tahu betul bagaimana siklus kehidupan, bertemu dan setelahnya berpisah. Tapi, bolehkah manusia sedikit serakah meminta agar tidak ada yang namanya perpisahan?
.
.
.
.Sheila, berjalan di tepi trotoar dengan wajah yang di tekuk. Matanya sembab dan memerah. Sesekali ia mengusap pipinya yang terus dialari air mata. Sore itu, jingga menguasai langit. Suara layangan menghantarkan rombongan burung kembali ke sarangnya. Sheila mendongak melihat layangan yang tiba-tiba saja hampir jatuh di atas kepalanya.
Ia mendesah " aku seperti layangan itu, tampak bebas namun terikat"
Ia menghentikan langkahnya di sebuah bukit. Tidak benar-benar bukit, hanya jalanan yang lebih tinggi. Dari sana, matahari terlihat jelas ketika ingin menenggelamkan kehangatannya di ufuk barat.
Sheila hanya diam, menendang-nendang kerikil kecil yang ada di depannya. Air mata sudah tidak turun lagi, namun hatinya masih sendu. Bagaimana mungkin ayah dan ibunya berpisah? Selama ini, ia tidak melihat ada yang salah dari kedua orang tuanya. Namun kenapa tiba-tiba mereka memutuskan untuk berpisah?
Hatinya sangat kacau saat ini, ia harus merelakan ayahnya pergi dan meninggalkannya di sini bersama ibunya. Itu sangat berat untuknya. Sungguh ia tidak pernah membayangkan ini terjadi dalam hidupnya.
"AAAAAAAAAAAA AYAHHH! IBUUUU! KENAPA KALIAN TIDAK MEMPERDULIKAN PERASAAN KU?!!" ia berteriak. Kata orang, jika berteriak di tempat seperti ini akan membuat hati sedikit lega. Tapi kenapa tidak berpengaruh padanya? Apa ia harus berteriak lagi agar merasa lega?
"AY--" Teriakan nya tertahan ketika seseorang tiba-tiba berdiri di sampingnya. Menatap ke arah matahari yang sebentar lagi berenang ke sisi lain bumi.
Sheila memperhatikannya. Seorang pemuda dengan wajah yang pucat dan tubuh yang sedikit kurus. Tapi wajah pucatnya itu sangat-- tampan. Sorot matanya yang sendu membuat jantung Sheila bekerja lebih cepat? Oh tidak, jangan katakan ini love at the first sight.
" Kau tidak boleh se-murah itu Sheila! Melihat pemuda tampan saja mata mu sudah tidak bisa di kontrol" ia membatin sambil menggigit bibir bawahnya. Seperti nya ia melupakan masalah nya ketika melihat pemuda ini
" Ya tuhan tolong aku, apa aku harus menyapanya?" Gumamnya yang masih menggigit bibir bawahnya sambil sesekali mencuri pandang ke arah pemuda itu
Entah setan apa yang berbisik saat ini, Sheila menyapa pemuda itu "hai, Apakah kita boleh berkenalan? Aku Sheila, kau sendiri siapa?" Tanya nya dengan sedikit meringis. Kau murahan Sheila, rutuknya kepada diri sendiri
"Asahi"
Sheila membesarkan matanya. Bukan hanya wajah yang datar, namun suara pemuda ini juga begitu datar. Sheila jadi menyesal menyapa pemuda ini
"Aaa Asahi. Nama mu indah Asahi, se indah matahari itu" ucap Sheila sambil menunjuk ke arah matahari yang sebentar lagi benar-benar tenggelam
"Terimakasih" Sheila tersenyum sambil mengangguk. Namun ia sedikit kesal, mengapa pemuda ini tidak menoleh sekalipun kepada nya? Apakah Sheila seburuk itu?
"Eum sepertinya aku harus pulang, matahari sudah tidak ada lagi. Kau juga harus pulang Asahi. Aku duluan ya" ucap Sheila yang hanya di anggukkan oleh Asahi.
Sheila menghela nafas pergi dari sana. Saat ini ia benar-benar menyesal mengajak pemuda itu berkenalan. Sungguh, ternyata ada manusia se kaku itu? Wah sangat tidak cocok dengan dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai Jumpa? [ One Shot ] ✓
Fanfiction°° weekly challenge with Hajeongwoo group chat °° Hai pria pengagum jingga, selamat tinggal Kau, gadis pengagum matahari, selamat tinggal