Chapter. 16

8.5K 1.1K 228
                                    

Gue pernah bilang kalo gue punya orang tua yang selalu memberi kebebasan buat anaknya untuk memilih, bukan? Di samping itu, mereka juga selalu kasih masukan dan materi untuk memperlancar semuanya.

Biar gue dikasih bebas, nggak berarti gue dibiarin gitu aja, yang artinya gue tetap diawasi.

Selama hampir sebulan, gue jalanin hidup tanpa hambatan, padahal udah ngelewatin batas aturan. Ada yang aneh, dan itu adalah poin utama permasalahan yang bakal terjadi. Kayak hari ini.

Setelah baca memo dari Faith, satu-satunya yang terpikir oleh gue adalah Bapak Winsel Sutedja, alias bokap. Gue sangat yakin itu.

Jam udah menunjukkan pukul sembilan malam waktu gue sampe ke rumah keluarga. Ofcoz, muka tegang dan sewot menyapa kedatangan gue dari mereka. Muka tegang dari Mommy, dan muka sewot dari Daddy.

Dua kakak gue pun ada di rumah, namanya Barry dan Barton. I know, agak-agak creepy dengan nama tiga bersaudara yang mirip, kesannya kayak anak zaman dulu banget. Kalo di duta, nama kami lebih ribet dari halu.

Alasan Daddy kasih nama mirip karena udah males cari nama. Jadi sengaja dimiripin, biar kalo Daddy manggil "Barbar!", semua auto nengok.

Mulut tuh emang nggak boleh ngasal kalo ngomong. Sering singkatin nama anaknya dengan panggilan barbar agar kami bertiga langsung nengok, imbasnya kami bertiga emang punya tingkah laku yang super barbar.

Kata orangtua, kami sering bertingkah padahal buat kami biasa aja. Ada yang cari gara-gara, ya lawan. Meski ujungnya harus berurusan sama polisi. Otomatis, Daddy sering dapet telepon tengah malam. Bukan dari simpanan, tapi polisi yang minta jaminan buat keluarin kami.

Untungnya, Daddy dan Mommy nggak penasaran buat nambah satu anak lagi karena belum punya anak cewek. Kami bertiga udah pasang taruhan kalo nama anak cewek itu pasti Barbara, semacam merk hairspray jadul yang sering dipake Mommy.

Flashback-nya udah kelar, sekarang balik ke mode serius. Gue udah samperin mereka, yang kayaknya tahu banget gue bakalan ke sini. Kalo nggak, mana mungkin si Barry dan Barton juga ada?

"Daddy bener-bener nggak percaya dengan apa yang Daddy liat sekarang," cetus Daddy sarkas.

Daddy emang tipikal straight to the point, tanpa basa basi, dan tepat sasaran. Bisa langsung ke inti, buat apa ngalor ngidul? Gitu prinsipnya.

"Aku juga nggak percaya dengan apa yang Daddy lakuin," balas gue yang masih berdiri, nggak kepengen duduk.

"Gitu?" sembur Daddy nyolot.

"Aku nggak mau buang waktu, Dad! Apa yang Daddy lakuin sampe Faith bisa minggat dari tempat aku?" desis gue yang nggak kalah nyolot.

"Lu bisa duduk, gak? Pegel gue liat lu berdiri," sewot Barry yang langsung dapet lirikan tajam dari gue.

Kami bertiga, masing-masing cuma beda setaon, makanya nggak ada sikap hormat atau segan dengan satu sama lain. Malahan, kayak saling beradu siapa yang paling bisa bikin keki. Kakak pertama adalah Barry, kedua adalah Barton, ketiga adalah Barlow alias gue. Jujur aja, gue jijik banget dengan nama tokoh yang dikasih sama yang nulis. Nggak ada yang lebih najis dari barbar apa?

"Baguslah kalau anak itu bisa tahu diri dan mutusin untuk pergi. Senggaknya, kamu nggak perlu ribet untuk usir dia," ucap Daddy santuy.

Mata gue auto melotot. "Jadi, Daddy usir dia dari rumah aku? Gitu?"

"Sayang, nggak gitu kalo ngomong sama Daddy," tegur Mommy dengan mode malaikat yang selalu terpasang, kalo ada keributan antara Daddy dengan salah satu dari tiga anaknya.

SKINSHIP (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang