PART 48

1.7K 305 98
                                    

Lima hari berlalu pasca insiden memalukan yang terjadi di rumah besar keluarga Mahardika, Torra disibukan dengan setumpuk kampanye dan harus beberapa kali melewatkan malam tanpa memeluk tubuh cantik istrinya. Jika sebelumnya Inna berkeberatan, merajuk bahkan merengek seperti anak kecil, maka kali ini hal tersebut sama sekali tidak terjadi.

Inna berusaha meredam semua dahaga, hasrat serta gejolak yang ada, berpikiran positif setelah berulang kali ibu kandungnya mengumbar aib sang mertua di depan umum.

Sebenarnya bukan keinginan Inna sikap diam itu terjadi hingga berhari-hari lamanya, karena Torra sendirilah yang melempar umpan, mencoba mencari alasan untuk sibuk di luar rumah dengan alasan pekerjaan.

Yang Inna pikirkan adalah suaminya itu benar-benar marah atas perbuatan ibunya, tetapi sejatinya kekecewaan merupakan penyebab utama, mengapa Torra memberi jarak.

Kecewa pada kejahatan sempurna wanita yang berstatus sebagai ibu, sekaligus durjana kejam tak punya hati, tapi lebih daripada itu Torra memang membutuhkan waktu untuk meredam segala emosinya.

Sayangnya kali ini kontrak yang sudah terwujud sepanjang lima hari itu harus segera dibatalkan, "Apa, Bu?! In..inna pingsan?!"

"Aduh! Iya, Nak Torra! Semalam badannya panas makane tak paksa ke dokter tapi nggak mau. Tadi itu pas hidungnya mimisan baru dia nurut terus langsung bareng sama ibu ke rumah sakit sini naik taksi." Sebab di ujung sambungan telepon, Indri melaporkan hal buruk sedang terjadi pada Inna, membumihanguskan tembok keangkuhan yang sudah menjulang tinggi.

"Di..di mana, Bu? Di rumah sakit mana?!" Terbata dan nyaris seperti laki-laki tolol yang bersuara keras pada lajur kiri sebuah rumah adat di satu perkampungan ketika sedang membagikan visi misi, Torra seakan acuh pada tatapan penuh tanya beberapa pasang mata di sekitarnya.

"Di rumah sakit Bayangkara sini, Nak. Ayo cepetan datang!"

"Oke-oke, Bu! Aku ke sana sekarang!" Yang Torra pikirkan hanyalah bagaimana caranya agar ia segera sampai ke tempat tujuan dengan selamat, guna mengetahui kondisi istri kesayangannya itu.

Klik

Menutup panggilan telepon tanpa kata pamit seperti biasa, Indri tak mempermasalahkan sama sekali. "Mau kemana, pak Torra? Ada yang sakitkah?"

"Aduh, pak Ketua. Istri saya pingsan terus dibawa sama mertua ke rumah sakit." Tetapi tidak untuk sang calon Kepala Daerah, yang berencana memimpin Kabupaten Kupang bersama Torra jika terpilih nanti.

Dengan rasa penasaran dibarengi aksi keperdulian pria itu pun bertanya, tak lupa ikut berempati dari bahasa tubuhnya yang keluar, "Astaga? Kenapa bisa begitu lagi?"

"Tidak tahu lagi nih, pak Ketua. Saya coba pergi cek sebentar baru kembali ke sini lagi bisakah tidak e? Pusing sekali otak nih rasa kepala mau pecah saja." Niat hati ingin segera melesat dari tempat tersebut, pun terganjal untuk beberapa menit atas sahut menyahut yang terjadi di antara keduanya.

"Ya harus pergi e, pak Torra! Masa ko istri sakit sampai jatuh begitu pak masih duduk di sini. Mau pakai mobilkah atau--"

"--Dengan motor saja e supaya lebih cepat. Anak-anak siapa ada bawa motor tadi itu e?"

"Pakai Fidelis punya motor kopling juga baiklah, pak Torra. Bisa bawa toh?"

"Bisa, pak Ketua. Nah kalau begitu saya pergi cek dia di depan dulu."

"Baik sudah. Kalau belum aman jangan datang dulu. Biar mobil nanti Primus yang antar di BTN sana. Atau bagaimana?" Dialeg Tanah Timor melekat erat tanpa bisa disingkirkan, merupakan bagian dari kebiasaan dan tidak perlu dipermasalahkan.

Tolong, Ceraikan Aku! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang