Ne Pas Aller, Ma Chérie

373 75 38
                                    

If our love is wrong,
then I don't ever wanna be right.










"Ada apa?" Tanya Taeyong dingin.

"Begitu caramu menyambut orang tua yang sudah 3 tahun tidak pernah kamu tengok?" Tanya ayahnya sama dinginnya.

Buah jatuh tak pernah jauh dari pohonnya, indeed.

Menarik nafas pelan, dalam, Taeyong berusaha menguasai diri. Mengontrol agar tak ada masalah baru yang akan ia timbulkan karena orangtuanya kesini pasti sudah membawa masalah lain.

Setelah mempersilahkan keduanya masuk dan menaruh nampan berisi teko air dan beberapa gelas, Taeyong duduk di depan orang tuanya. Ayahnya masih bermuka datar. Sedangkan ibunya, entahlah. Taeyong tidak bisa menjelaskan ekspresi wajah ibunya.

Kecewa? sedih? marah? lelah.

Tampak seperti dirinya.

"Ayah fikir kamu sudah sembuh" ucap Ayahnya tiba-tiba setelah tegukan air yang pertama.

"Ayah tahu kakiku cedera permanen, nggak akan sem-"

"Bukan kakimu" potong ayahnya cepat. Taeyong menarik sebelah alisnya.

"Penyakit gay mu itu"

Taeyong mengeraskan rahangnya. Wajah ayahnya sekilas menyiratkan rasa jijik, dan membuat Taeyong hampir kehilangan kendali diri.

Tapi Taeyong memilih diam, tidak menjawab.

Ayahnya nampak menghela nafas panjang,

"Perasaan menjijikan itu hama, Taeyong. Penyakit" Ayahnya menatap nya tajam. Ibunya masih tidak bersuara, Dan Taeyong masih menolak menatap keduanya,

"Ayah punya kenalan psikolog, kamu bisa kesana. Setelah itu kamu bisa hidup normal, punya keluarga, tinggal jauh dari Korea agar keluargamu tidak akan malu dengan aibmu ini"

"Tau apa Ayah soal perasaan?" Tanya Taeyong kemudian. Pelan, tapi tegas.

Ayahnya berdecih.

"Tau apa Ayah soal perasaan?" ulang Ayahnya lagi, "Kamu. Kamu yang harusnya ditanya seperti itu. Tahu apa kamu soal perasaan? soal cinta? Ayah hidup jauh lebih dulu darimu. Ayah tahu betul apa itu cinta. Ayah makan lebih banyak asam garam kehidupan. Sedangkan kamu? Kamu baru anak kemarin sore yang sombong soal hidup, baru kena cedera sekali sudah menghindar, tidak ada usaha untuk kembali mengejar apa yang kamu sebut dengan cita-citamu dulu. Dan sekarang kamu malah melampiaskan nafsu pada hal memalukan? Itu blunder terbesarmu, Taeyong. Itu bukan cinta, itu cuma nafsu yang kamu salurkan dengan salah. Perasaanmu itu adalah kesalahan" Ayahnya muntab, panjang lebar menjelaskan.

"Jadi adanya aku juga kesalahan, bukan? perasaan ayah dan ibu juga kesalahan, begitu?" jawab Taeyong tenang walau buku jarinya sudah memutih karena kepalan tangannya yang semakin mengencang.

"TAEYONG!"

Seumur-umur, walau Taeyong selalu berselisih pendapat dengan ayahnya mengenai jalan hidup yang ia ambil, beliau tidak pernah sekalipun menghardiknya dengan teriakan. Baru kali ini.

"Ayah datang kesini untuk bilang kalau perasaanku adalah kesalahan, kemudian mengungkit masa laluku, lalu berbicara panjang lebar menata masa depanku seakan-akan aku pasti bakal bahagia ... lalu apa? Apa untungnya buat ayah? bukannya 3 tahun ini ayah tidak pernah peduli pada kehidupanku? lalu sekarang kenapa tiba-tiba ayah bertindak seolah saint, dokter, atau orang paling suci di dunia. Kenapa? Untuk apa peduli?"

Taeyong menatap wajah ayahnya, tepat di kedua bola matanya. Ia bisa melihat tangan Ibunya memeluk lengan ayahnya, seakan menyuruhnya untuk kembali duduk tenang.

[end] Hakuna Matata (TAETEN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang