Deux Pensées

312 66 23
                                    

"Your attention please, passengers of United Airlines on flight number UA308 to Thailand please boarding from door A12, Thank you."


Ten bangkit dari kursi, diikuti oleh Taemin di sampingnya. Keduanya akan berpisah di sini. Ten lalu meraih tasnya. Menegakkan tubuh. Taemin memandangi Ten dengan mata memerah. Rasanya berat hati melepaskan Ten pergi. Bagi Taemin, Ten sudah seperti adik atau anaknya sendiri.

"Kabari hyung kalau kamu udah sampai sana" ucap Taemin, meraih pundak Ten, lalu memeluk lelaki itu erat.

Ten mengangguk, melingkarkan tangannya pada bahu manager—mantan managernya. Balas memeluknya tak kalah erat. Hanya Taemin yang mengantarkan Ten ke bandara. Tak ada rekan kerjanya yang tahu soal ini. Kepergiannya mendadak. Bahkan tak ada media yang mengikutinya lagi semenjak Ten pindah tempat.

"Safe flight" bisik Taemin lagi, mengelus rambut Ten sayang.

"Terimakasih buat semua kebaikan hyung selama ini, maaf kalau aku sering banget nyusahin" jawab Ten balas berbisik.

"Sstt, it's okay. Nggak apa-apa. Kamu udah hyung anggap adik sendiri"

Ten melepaskan pelukannya. Ada setitik air mata di sudut matanya.

"Kalau kesusahan di sana, bilang. Hiduplah lebih sehat. Jangan pilih-pilih makanan, juga cari kerjaan yang nggak menghabiskan tenaga banyak-banyak. Carilah kebahagiaanmu yang baru" tambah Taemin lagi.

Ten mengangguk. Sedikit mencelos saat mendengar kalimat carilah kebahagiaan yang baru.

Ia siap melangkahkan kakinya pergi saat tubuhnya tiba-tiba terdiam. Ia memegangi dadanya. Ada rasa sakit yang sedikit demi sedikit menelusup.

Taeyong.

Sumber kebahagiaannya.

"Hyung" panggil Ten kemudian.

Taemin yang sedang mengetikkan sesuatu di ponselnya lalu mengangkat kepalanya, menatap Ten.

"Ada apa?"

Ten nampak menjalin kedua tangannya, memelintir terlihat gugup. Matanya bergerak-gerak tak menentu. Pertanyaan sudah ada di ujung kerongkongan, siap dimuntahkan. Tapi lidahnya kelu. Tak mau digerakkan.

"Ten? kenapa?" Tanya Taemin lagi.

Ten menghela nafasnya pelan.

"Nggak ada apa-apa, hyung." jawab Ten akhirnya, "aku pergi" tambahnya lagi sambil cepat melangkahkan kakinya menuju gate penerbangan.

Ia tak bisa mengeluarkan kalimat simple 'apakah Taeyong tahu Ten akan pergi kemana?' karena bagaimanapun, kalau difikir-fikir, ia pergi atas kemauannya sendiri. Untuk apa mengharapkan Taeyong tahu kemana ia pergi?

Sakit di dadanya makin bertalu, hampir membuatnya susah melangkahkan kaki. Tapi Ten mamaksakan diri walau sambil tersuruk-suruk. Air mata sudah menggenang. Ia segera meraih saputangan dari dalam saku. Matanya mengerjap, membuat bulir-bulir air mata itu jatuh. Diusapnya cepat. Bayangan Taeyong ikut menghantui fikirannya seiring air mata yang tertumpah. Rasanya sungguhan sesak. Menyadari kalau sehabis ini mungkin tak ada lagi kesempatan baginya untuk bertemu Taeyong.

Setelah melewati pemeriksaan, Ten berangsur tenang. Ia mengepal saputangannya erat. Meyakinkan diri bahwa pilihannya sudah tepat. Meyakinkan diri kalau dia tetap bahagia selama masih bisa hidup di dunia yang sama dengan Taeyong walau tak lagi bisa berjumpa.

Ten menghabiskan waktu penerbangan dengan tidur walaupun sesekali ia terbangun oleh turbulensi. Mungkin kelelahan. Ia bahkan tak ingat kapan terakhir kali memejamkan mata semenjak kasus itu terjadi. 10 menit sebelum landing, Ten melempar pandangannya keluar jendela. Ia menangkup dagunya dengan telapak tangan. Matanya menyayu, memandangi cahaya-cahaya kecil yang berkilauan di bawah sana. Malam semakin melarut. Ia bisa merasakan pesawatnya mulai terbang merendah.

[end] Hakuna Matata (TAETEN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang