"Hei, selamat ya? Dia sudah ada di dalam sini kata dokternya," ujar Torra menyapa sekaligus menguatkan Inna, saat brangkar besi di dorong terus menuju ke dalam mobil ambulans.
"Makasih, Mas. Aku... takut." Ya, was-was bahkan cenderung paranoid tergambar dengan jelas di wajah cantik Inna, dan semuanya tentu saja karena hal yang tidak lazim ia lakukan.
Mobil ambulans dengan sirine peringatan di dalam isi kepala Inna adalah hal mengerikan, terlebih ketika mendiang kakak laki-lakinya dibawa naik dalam keadaan bersimbah darah dan sudah tidak bernyawa lagi.
"Kenapa, Sayang. Kita pakai ambulans soalnya dokter bilang kamu nggak boleh jalan. Harus selalu di atas tempat tidur, sampai keadaannya mulai membaik gitu. Katanya kebanyakan gerak itu yang kemungkinan bikin usaha kita gagal terus, Yang. Nggak tahu benar apa enggak biar nanti tanya langsung ke dokter Padma aja. Soalnya kamu pilihnya ke rumah sakit ini bukan ke tempat kerjanya, jadi ya harus ikut aturan biar nggak ribut. Mobilku juga masih di sekretariat jadi terpaksa gini." Itulah mengapa Torra berusaha menjelaskan sebaik mungkin, menepis keraguan untuk kebaikan bersama.
Jemari yang sengaja Torra tautkan dan diremas keras oleh Inna, pun menjadi bukti tanpa harus dijelaskan lagi padanya. Reaksi tubuh tersebut sangat alamiah, maka jawaban tadi memang sudah pas adanya, meski ketakutan belum sepenuhnya menghilang.
Indri yang berada di kursi bagian depan mobil, pun tak ubahnya demikian. Debar-debar sialan mengisi beberapa waktu saat roda-roda mulai bergerak, tetapi ia memiliki cara jitu untuk menenangkan diri, berdoa dan mengharap semuanya baik-baik saja.
Dua puluh menit berlalu, mobil ambulans dari rumah sakit Bayangkara pun sudah sampai di pelataran rumah sakit Dedari, selamat tanpa kurang satu apapun.
Tik tok tik tok tik tok
Semua berjalan cepat, seiring bunyi jarum jam yang terus berputar tanpa henti. Sejumlah keperluan administrasi pun Torra lengkapi sembari para medis menyiapkan kamar pilihan dengan segala sesuatunya, lalu tak lama kemudian, tibalah saatnya dokter Padma menampakkan diri di depan mereka bertiga setelah selesai dari ruangan operasi.
"Gimana kabarnya, Bu Inna? Pak Torra sama--"
"Ibu mertua saya, Dok," sahut Torra menerangkan status wanita paruh baya yang menjadi perhatian sang dokter.
"Oh, iya. Mama mertua. Sehat semuanya?" Hal tersebut menciptakan uluran tangan yang serta merta disambut oleh Indri, tak lupa senyuman juga hadir sebagai bentuk dari kesan pertama.
Pertanyaan yang diberikan oleh dokter Padma, segera ditanggapi oleh Inna ketika aksi berjabat tangan itu sudah selesai dilakukan, "Nggak sehat, Dok. Tangannya di infus gini."
Nada frustasi tergambar jelas menciptakan kekehan kecil, tetapi bentuk dari celebrate tak lupa terlontar sebagai pengucapan syukur, "Hehehe... Itu biar segar aja, Bu. Hamil bukan penyakit ya kan? By the way, selamattt... Akhirnya prosesnya membuahkan hasil."
Hal yang selama ini ditunggu-tunggu, memang benar terjadi dan menyimpan kegembiraan, bukan hanya untuk Inna pribadi, tetapi dokter Padma pun sangat merasakannya, "Iya, Dok. Makasih banyak udah nyusahin selama ini."
Mendekat ke arah brankar, pertama lahir guna memastikan sembari stetoskop itu mengarah ke bagian dada Inna, "Ah, enggak kok. Sudah kewajiban saya itu. Jadi gimana ini? Ada keluhan nggak di area perut yang kemarin Dilatasi?"
"Dilatasi?" Namun, bahasa medis yang digunakan dokter, kurang dipahami hingga membuat Inna bertanya.
Menjelaskan agar dapat dicerna, rupanya kesalahan sedikit terjadi, "Kuret, Bu. Yang kemarin itu lho. Soalnya pas masa nifas, ibunya nggak istirahat dulu tapi malah ke mana tuh?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tolong, Ceraikan Aku! [END]
RomanceMenikah itu tidak mudah. Menikah dimaksudkan agar hidup kedua pasangan menjadi teratur dan terarah dengan baik, tapi tak jarang sebuah pernikahan hanya berlandaskan coba-coba, karena harus bertanggung jawab akibat tak kuat menahan hawa nafsu, lalu t...