🌹🌹🌹
Beberapa hari pulang dan pergi dari rumah kesehatan Dito akhirnya tumbang juga. Kurangnya asupan makanan di tambah beban pikiran membuat ketahanan tubuhnya menurun. Apalagi dia harus tidur hanya beralaskan anyaman daun pandan membuat angin mampir ke dalam tubuhnya. Badan Dito lemas, tubuhnya menggigil, tetapi suhu badannya sangat panas.
"Mas bangun, sudah subuh," kata Isma sambil menggoyang-goyang lengan Dito. Walaupun perasaan marahnya masih di tingkat kepala, namun Isma masih sangat sadar untuk mengingatkan Dito melaksanakan kewajiban. Isma masih istri sah-nya Dito. Surga Isma masih berada di dalam ridho suaminya.
"Mas," Isma semakin lirih memanggil Dito, namun Dito tetap memejamkan mata malah tubuhnya semakin menggigil.
"Ya Allah, Mas! Mas sakit?" Dito tak menjawab. Badannya serasa remuk semua.
"Ayo! Tidur di atas. Isma bantu bangun!" Isma membuka sarung yang membungkus tubuh Dito dan memapahnya ke atas ranjang.
"Ya Allah, Mas! Mas berat banget sih!" omelan Isma yang kuwalahan mengangkat tubuh Dito.
"Kebanyakan dosa kali, Mas!" Kalau tidak sedang sakit, mungkin Dito akan ikut mencak-mencak. Beruntung dia sedang tidak berdaya, jadi dia hanya diam mendengar ucapan Isma.
"Tunggu di sini. Aku ambilin air minum." Isma melipat tikar yang di gunakan tidur Dito dan merapikan kamar sebelum ke luar menuju dapur.
Bergegas Isma pergi ke dapur dan mengambil segelas air putih untuk suaminya.
"Minum dulu!" Isma memapah Dito agar bisa duduk meminum air putih. Sedikit lega terasa membasahi kerongkongan Dito. Pria itu kembali menjatuhkan kepala di atas empuknya bantal setelah menghabiskan segelas air putih. Kepalanya pusing dan pandangannya berkunang-kunang, Dito semakin merapatkan selimut. Sangat dingin ia rasakan.
Isma kembali masuk ke dapur. Mengambil baskom dan mengisinya dengan air termos dan di tambah air dingin. Setelah hangatnya pas, Isma membawa baskom itu ke kamar. Mengambil handuk kecil di lemari untuk di gunakan mengompres dahi Dito.
"Buat tidur saja dulu. Isma buatkan bubur sebentar," kata Isma setelah meletakkan handuk -yang telah di celupkan ke dalam air dan di peras- di dahi suaminya.
"Hm," Hanya kata itu yang mampu terucap dari mulut Dito. Badannya sangat lemas dan tidak ada kekuatan untuk menanggapi kecerewetan Isma.
Perlahan Isma berjalan keluar. Sebelum menutup pintu, Isma kembali melihat sebentar suaminya sebelum menutup pintu perlahan agar tidak mengganggu tidur Dito.
"Sudah bangun, Nduk?" tanya Hanna yang sedang mengisi air di panci hendak menjerangnya.
"Nggeh, Bu," jawab Isma sambil menakar beras.
"Wes arep ngliwet? (sudah mau menanak nasi?) Kok cuma sedikit?" tanya Hanna melihat Isma hanya mencuci beras segelas saja di baskom kecil.
"Mau buat bubur, Bu. Mas Radit sakit." Isma memasukkan beras yang sudah di cuci ke dalam panci.
"Dito sakit? Sakit apa?" tanya Hasna sedikit khawatit dengan keadaan putra semata wayangnya itu.
"Demam, Bu." Isma meletakkan panci berisi beras di atas kompor setelah memberikan air lebih banyak dari ukuran menanak nasi.
"Kita bawa ke Dokter atau di belikan obat di warung saja, Bu?" kata Isma setelah menyalakan kompor.
"Kita obati dulu dengan obat warung. Kalau nanti sore belum reda kita bawa ke Dokter saja," kata Hanna.
"Lagian kalau di bawa ke Dokter belum tentu Dito mau. Dia 'kan takut jarum suntik!" Kata Hanna lagi tersenyum geli teringat Dito kecil yang melarikan diri lewat jendela ruang kelas dan berlari pulang ke rumah saat ada kegiatan imunisasi. Walau akhirnya, dia di imunisasi juga keesokan harinya dan di antar wali kelasnya pulang karena pingsan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pebinor Bucin.(Sudah Tamat di Kbm-app)
RomantizmNamaku Radito purnama. Aku bukan pengusaha apalagi casanova. Aku seorang Arsitek yang sudah hidup berkecukupan. Usiaku 27 tahun. Usia yang cukup matang untuk berkeluarga namun aku masih bahagia sendiri. Cita-citaku bukan menjadi Arsitek, tapi karena...