Beberapa jam terakhir berlalu seperti blur untuk Adara. Mulai dari dirinya yang terbangun jam tiga dini hari tanpa bisa memejamkan mata lagi, kecerobohannya menjatuhkan keranjang yang berisi peralatan merajutnya saat ia hendak memakai seragam, dan perjalanan ke sekolah baru menggunakan sebuah mobil hitam nyaris tak bersuara yang selama ini hanya Adara lihat terparkir di halaman panti saat para donatur ingin menengok anak-anak asuh mereka.
Tidak hanya memberi Adara kesempatan bersekolah di tempat yang biayanya memiliki banyak sekali angka nol, keluarga Adinata juga menyediakan fasilitas transportasi setiap hari. Beberapa saat yang lalu, Pak Ramdan, supir mobil itu, menurunkannya di lobi sekolah. Adara hanya mengikuti keramaian dan sekarang ia kebingungan. Tubuh mungilnya tenggelam di antara siswa-siswi berseragam putih-biru.
"Hei, Adara, kan?"
Tangan seorang gadis menepuk pundak Adara. Adara harus sedikit menengadahkan kepala karena gadis di sampingnya itu tinggi sekali. "Eh, i-iya." Adara melirik nametag di seragam gadis itu. "Kak Melisa, ya?"
Melisa mengibaskan sebelah tangan. "Ngapain pake 'kak'? Gue seangkatan sama lo. Yuk, kita minggir ke sana. Ini anak-anak kelas sepuluh mau disuruh baris sama anak OSIS. Lo nggak perlu ikut mereka."
Sambil mengeratkan pegangan ke tali ranselnya, Adara mengikuti langkah Melisa. Wajahnya menjadi cerah saat ia melihat Fikri sedang berdiri di koridor bersama seorang lelaki yang belum Adara kenal. Adara menelan ludah menilai tinggi badan lelaki itu. Sekarang, ia merasa kerdil, secara harfiah maupun perumpamaan.
"Gue Lionel." Lelaki itu mengulurkan tangan.
Adara mengerjapkan mata beberapa kali sebelum menyambut uluran tangan Lionel dengan kikuk. "Adara," ujarnya pelan. Kemudian, Adara memaki dirinya sendiri dalam hati. Menyongsong tahun ajaran baru, Adara bertekad untuk berani berinteraksi dengan teman-teman barunya di Garda Bangsa. Bagaimana dia memenuhi tekad itu kalau mengucapkan nama sendiri saja suaranya bergetar?
"I know," kekeh Lionel sambil menunjukkan senyuman lebar.
Adara menatap lelaki itu dengan atensi yang lebih dari sebelumnya. Lionel tampak sangat ... dewasa. Tidak ada teman lelaki di sekolahnya dulu yang memiliki badan tegap dan berotot seperti Lionel. Adara juga tidak pernah bermimpi menemukan wajah sejenis milik Lionel di sekolah lamanya. Wajah yang memiliki garis-garis kaukasia sekaligus fitur oriental itu mengingatkan Adara akan artis-artis remaja yang memenuhi layar kaca belakang ini.
Lionel balas menatapnya tepat di mata. Alisnya terangkat dan sebelah tangannya ia gunakan untuk mengusap sudut-sudut bibir.
"Kayaknya gue makan selai tadi pagi nggak berantakan, deh. Emangnya ada sesuatu ya di wajah gue?"
Adara terhenyak. Segera ia menundukkan kepala dalam-dalam. Untung saja, suara Melisa cepat menarik perhatian mereka semua.
"Berhubung kepala sekolah dan guru-guru yang lain masih ikut upcara penerimaan siswa baru, bagusnya kita tur keliling sekolahan dulu aja. Hari ini gue sama Lionel bakal nemenin kalian sampai jam istirahat pertama--"
"Sampai makan siang kali maksud lo, Mel?"
Sebuah tepukan yang tidak main-main kerasnya mampir ke pundak Lionel. Lionel meringis, tapi tetap berusaha terlihat tenang.
"Iya, sampai istirahat pertama," ucap Lionel sambil melirik Melisa yang sedang mendelik ke arahnya.
"Yuk." Melisa memimpin rombongan kecil itu memasuki koridor lebih dalam.
Mereka melewati lobi yang dindingnya berupa lemari kaca berisi trofi, piala, serta medali yang tak terhitung jumlahnya, untuk sampai ke lapangan tengah. Lapangan itu sangat besar, seukuran tiga lapangan basket yang berjajar. Di sisi lapangan yang menghadap jajaran ruang kelas, terdapat logo Garda Bangsa yang berada di puncak suatu undakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Mismatch So Perfect [COMPLETED]
Dla nastolatkówAdara dan Lionel ibarat kutub utara dan selatan. Mereka begitu berbeda, selayaknya dua keping puzzle yang tidak akan pernah cocok menyatu. Seharusnya, Lionel tetap menjadi lelaki tampan dan populer dengan dunia tak terjamah oleh Adara. Semestinya, A...