Gelegar guntur masih mengiringi hujan ringan selepas isya ini. Aku setia menunggu Eno pulang di teras kamar kostnya. Meski hawa dingin amat pekat menyelimuti tubuhku.Dari ujung sana, kulihat kedatangan kekasihku itu. Dia mempercepat langkahnya saat menyadari kehadiranku.
"Ayy?" Wajahnya yang lusuh nampak terkejut.
Kutatap sekujur badannya yang basah kuyup. Juga kaos dan celana pendeknya yang kotor oleh serbuk pasir.
"Kamu ga papa?" Dia malah terlihat khawatir padaku. Mungkin karna kemarin lusa aku juga sempat datang kesini dan mengadukan masalahku padanya.
Aku berusaha menyembunyikan kesedihan hatiku mengetahui kesulitan yang tengah dia hadapi. Tapi ternyata aku tak kuasa. Sekuatnya aku menahan, air mataku sudah meleleh saja dengan mudahnya.
"Ayy? Ada apa?" Eno meraup kedua sisi wajahku.
Aku memegang salah satu tangannya. Lalu menolehkan wajahku untuk mengecup telapak tangan itu dengan mata terpejam.
Ada rasa perih menjalari relung hatiku menyaksikan betapa Eno sudah menghadapi hari yang berat akhir-akhir ini. Tapi bahkan satu ucap keluhanpun tak pernah kudengar dari bibirnya.
Aku menatap Eno lekat-lekat. "Harusnya aku yang nanya ke kamu. Ada apa? Apa yang sedang kamu hadapi? Bilang sama aku!" Suaraku sudah tertahan.
"Apa maksud kamu, Ayy?" Eno balik menatapku tak mengerti.
Kuusap wajahnya yang lusuh itu. "Kamu bohongin aku, kan? Kamu enggak kerja setelah jam sekolah. Tapi dari pagi, sampe tiga hari ini kamu harus bolos."
Eno terkesiap. Agaknya dia cukup terkejut mendengar penuturanku.
"Kenapa kamu harus bohongin aku? Kenapa kamu enggak terus terang? Kenapa No?" Nafasku sudah sesak karna menahan tangis.
Eno tak menyahut. Diam seribu bahasa bahkan dia tak berani menatapku.
"Ini ... ini sama sekali bukan hal yang penting," kilahnya kemudian tampak agak kikuk.
Aahh ... dia selalu begitu. Aku tau dia ini cowok yang tangguh. Tapi bisakah dia mengerti kalau sekarang ada aku di sisinya yang selalu mengkhawatirkannya?
"Aku ini siapa? Kenapa kamu sampe merahasiakan semuanya dari aku? Apa aku enggak berhak tau tentang masalah yang kamu hadapi? Apa aku orang lain buat kamu?" cecarku dengan nada sendu.
"Enggak gitu, Sayang," sergah Eno cepat. Menelengkan kepalanya dengan wajah merana.
"Aku enggak bermaksud bohongin kamu. Aku cuma enggak mau bikin kamu kepikiran. Aku bisa mengatasi masalah aku. Ini bukan hal yang baru. Aku udah biasa ngadepin situasi kayak gini. Enggak ada yang harus kamu khawatirkan," jelasnya.
Aku hanya menundukan wajahku. Tak mau sampai Eno melihat wajah cengengku saat ini.
"Maaf kalo kamu ngerasa tersinggung karna aku udah bohong sama kamu." Eno meraih tanganku untuk dia pegangi.
Aku hanya menggeleng. "Enggak. Aku bukan tersinggung. Aku kesel aja karna ternyata kamu masih ragu seolah kamu enggak percaya sama aku."
"Aayy ...?" Eno menukas cepat. "Kok kamu mikirnya gitu?"
"Kamu yang bikin aku mikir begitu. Kenapa kamu enggak terus terang aja tentang semua masalah kamu. Aku 'kan bisa bantu."
"Iyaa ... aku tau kamu bisa bantu. Tapi aku masih bisa ngatasin ini semua. Kamu enggak perlu cemas berlebihan begini." Eno tetap meyakinkan.
Aku menatapnya sekilas, masih tak terima dengan argumennya.
"Ya udah. Masuk, yuk! Dingin banget di sini. Aku juga udah pengen mandi. Badan aku lengket banget. Kita lanjutin di dalem ngobrolnya." Eno mengusap wajahku lagi. Memasang senyuman manis untuk meluluhkanku.