GC 31

529 48 32
                                    

Tersadar ia sudah membentak pria yang ada diatasnya, Jihoon memalingkan wajah. Dengan mata bergerak bergulir tidak tahu arah.

Cekalan pada pergelangan tangannya mengerat seolah ia terjerat, tidak ada gunanya memberontak berusaha melepaskan diri. Yang ada saat ini, Jihoon memasrahkan diri.

Deru nafas itu terdengar keras sekali, memberitahunya bahwa Daniel berusaha mengontrol diri. Kembali bersitatap pada Daniel, dengan lembut ia memanggil, cekalan tangannya tidak mengerat lagi.

Membingkai wajah tegas Daniel yang mengeras, "maaf," gumam Jihoon, mengusap beberapa kali tulang pipi Daniel. Meminta diri untuk tenang.

Jihoon tahu ia sangat lancang sekali pada ayah angkatnya.

"munafik heh? Katakan pada daddy, apa yang kau inginkan." ujar Daniel, kabut amarahnya masih tampak jelas.

Kedua tangan meraih ujung baju si manis yang ada dibawahnya, menyingkap kasar. Tanpa jeda, semua yang membaluti tubuh kecil itu terlempar begitu saja.

Dari jarak seperti ini, semua yang ada disekitarnya panas, pengap, bahkan ini menyesakkan respon tubuh besarnya saat menatap tubuh polos itu meliuk tidak nyaman.

Tentu saja pekikan terkejut itu tertahan. Tapi setelahnya, Jihoon tersenyum miris menatap Daniel dengan kabut kemarahan dan keinginan lebih menjadi satu.

"kenapa bertanya lagi? Daddy sudah tahu jawabannya." jawab Jihoon menyendu, mata sayapnya mengerjap sayu tiap Daniel bergerak kembali mendekatinya.

Mengabaikan angin malam menyeruak masuk melalui jendela kamar pria tua ini terbuka lebar menampilkan gambaran bulan membentang bercahaya menemaninya yang berserah diri kembali.

Tubuhnya menggigil, tidak mampu merasakan kedinginan kecil yang menusuk tulangnya. Daging dilapisi kulit menjadi pelindungnya saat ini.

Tanpa aba, tapi terkesan tidak terburu, Daniel  menciumnya lembut. Sangat lembut seolah ialah barang berharga yang kapan saja bisa pecah dan menjadi serpihan tidak berdaya.

Memejamkan mata, menikmati cumbuan itu Jihoon merasakan sesapan Daniel sangat penuh akan kasih sayangnya, entah kemana kemarahan yang ayah angkatnya tampakkan sebelumnya.

Mengikuti setiap pergerakannya, ia tahu ia sangat tidak pandai membalas. Jihoon berusaha menyeimbangkan permainan.

Membuka mulut, sudah dipastikan ia yang mengundang benda lunak nan basah itu masuk kedalamnya, saling membelit seperti bertarung. Jihoon pusing menerima afeksi kenikmatan yang diberi Daniel.

Yang ia lakukan, hanya melenguh. Melenguh tidak berdaya. Menikmati permainan, Jihoon menyukainya.

Tautan mereka terlepas. Tajamnya mata itu menyerangnya kembali, ada getaran disana, sama sepertinya. Membalas dengan deru nafas yang tak kalah keras sembari meraup udara kasar karena paru-parunya hampir kehabisan sumbernya.

Tangan besar itu mengusap pipinya yang ia yakini merah, hingga ke leher dan dada. Selalu saja, pasti tidak pernah terlupakan, Daniel mengecup keningnya lama. Matanya spontan tertutup saat benda lembap itu menghampiri, pucuk hidungnya yang merah tidak pernah terlupakan untuk bertegur sapa seperti terakhir kali.

Jihoon sesak nafas, dalam artian ia merasakan degupan jantungnya kembali bekerja lebih cepat hanya karena kecupan kapas itu diterimanya.
Jihoon sangat menyukai afeksi ini.

Setelah ia mendengar tutur kata itu, Jihoon terdiam sembari menatap lekat pada Daniel.

Daniel menetralkan sisa nafasnya. Berujar walau itu benar ada nya, "tuhan tidak mampu menghentikan setiap perbuatan yang dilakukan umatnya."

Get Closer (NIELWINK) I√Where stories live. Discover now