Heyya guys :) hope you like this chapter and don’t forget to vote aaand comment! So,vomment -w- teehee~
Wendy membuka matanya perlahan- lahan.
Lembut, pikirnya.
Ia terbaring di atas sesuatu yang sepertinya merupakan ranjang yang sangat nyaman, dan tubuhnya tertutupi oleh selimut tebal. Ia sedang berada dalam ruangan yang gelap, yang satu- satunya pencahayaan hanyalah ada di dekat Wendy, tetapi tidak tahu pasti berasal dari mana.
Wendy sedang terbaring menyamping. Ia menatap lurus ke arah ranjang lain di sebelahnya yang dekat darinya dan mendapati Bim yang sedang menatap lurus ke arahnya. Bim bersembunyi di balik selimut sehingga hanya kepalanya yang terlihat. Wendy terkejut, kemudian berbisik, “Kau sudah bangun?” Bim mengangguk pelan.
“Mana Bob?” bisik Wendy. Bim pun menunjuk ke arah di belakang Wendy. Wendy mengangguk meskipun ia tidak mengecek nya. “Bagaimana kau tahu?” tanya Wendy.
"Aku kan asal menjawab," jawab Bim.
“Tidak lucu,” keluh Wendy. Ia mengintip pelan ke seberang ruangan di mana cahaya berasal. Ternyata ada sebuah perapian, dan di depannya, terdapat kursi besar yang membelakangi Wendy. Ia menyadari keberadaan seseorang yang sedang membaca koran. Ia pun kembali menoleh ke arah Bim. Wendy tidak mau seseorang di balik kursi itu mengetahui bahwa ia sudah sadarkan diri karena ia takut jika akan terjadi apa- apa.
Wendy pun mencari topik pembicaraan selagi ia mempersiapkan diri untuk bangun dari ranjangnya. “Um, terima kasih karena telah menolongku tadi, ya. Atau entah kapanpun itu,” kata Wendy.
Bukannya mengangguk atau menjawab ‘iya’, Bim malah memasang raut wajah aneh seperti mengejek Wendy. Bim terlihat seperti mengatakan, terima kasih tapi dengan ekspresi dan gerakan mulut yang terlihat sangat menyebalkan.
“Bisa tidak berhenti jadi orang yang menyebalkan untuk kali ini?” bisik Wendy. Jika saja dia bisa berteriak. Jujur, Wendy baru saja bertemu dengan Bob dan Bim, namun, bukannya berusaha untuk menghakimi, tapi Bim bersikap menyebalkan (bisa dibilang begitu). Dia berbeda sekali dengan Bob. Wendy berharap sikapnya akan berubah.
“Terserah,” kata Wendy dengan kesal sambil memutar kedua bola matanya. Sebelum Wendy hendak berbalik ke arah lain, Bim menarik rambutnya dengan kencang. Hampir saja Wendy berteriak keras. Bim malah tersenyum- senyum sendiri. Tiba- tiba Bim mengatakan sesuatu yang entah lucu atau membingungkan, “Aku agak takut," Dia mengatakannya dengan malu- malu. Ya ampun, pikir Wendy. Seharusnya Wendy yang mengatakannya. Mungkin Bim juga ketakutan, sama seperti dirinya, namun bedanya, Wendy menyembunyikannya. Mungkin Bim sengaja menarik rambutnya agar Wendy tetap bersamanya. Karena dia takut, pikir Wendy. Ia tak seharusnya mengatainya begitu. Wendy pun mengangguk. “Aku juga,” katanya.
“Kalian tak perlu berbisik- bisik, kalian tahu? Aku bisa mendengarnya. Dengan jelas, malah. Kalian, sih, namanya bukan berbisik- bisik.” Kata seseorang dengan tiba- tiba. Wendy dan Bim pun langsung menatap ke arah suara berasal. Dari balik kursi, muncullah kepala seseorang yang menghadap ke arah mereka. “Bangunlah, aku telah membuatkan makan malam. Cowok yang kalian cari- cari? Dia sudah berada di dapur dan menyiapkan makanan.” Kata pria yang ternyata adalah Jimmy Redwood. Ia pun beranjak dari kursinya dan berdiri di dekat mereka sambil menunggu mereka untuk bangun.
Wendy pun bangun perlahan dan mengamati ruangan tersebut. Ruangan tersebut terlihat seperti apartemen kecil, bahkan mungkin kamar hotel (tapi lebih besar). Ranjang Wendy dan Bim beserta sebuah ranjang yang mungkin bekas Bob, sepertinya tak seharusnya diletakkan di ruangan itu, karena ruangan itu lebih mirip ruang tamu daripada kamar tidur. Ruangan tersebut sangat gelap. Kecuali bagian dapur yang tak berpintu dan menghadap ke ruangan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Empty Street
Science Fiction'Saat melihat pemandangan di luar, lututnya tiba- tiba melemas dan ia pun terjatuh pelan di depan pintu' Wendy Train terbangun suatu pagi dengan menyadari beberapa hal yang ganjil. Orang tuanya sedang pergi ke negara lain dengan alasan pekerjaan, ja...