18 - Toko kostum

555 509 437
                                    

"Icil," panggil Bumi menarik-narik lengan Icil tanpa sadar.

"Apa?" jawab Icil malas, ia menepis tangan Bumi dari lengannya. Bumi menunjuk-nunjuk toko itu.

"Toko kostum?!"

"Temani aku ke toko kostum, ya?"

"Halloween, kan, masih lama."

"Bukan untuk Halloween, tapi untuk kamu."

"Untuk gue?"

"Air mineral kamu sudah habis, kan? Kalau kamu haus, aku yang repot," jawab Bumi, sambil memasuki area toko.

"Sore, Mas, ada yang bisa dibantu?"

"Saya cari kostum yang mirip-mirip Princess seperti di Disney gitu, Mbak, ada nggak?"

"Oh, ada. Mari ikut saya, Mas."

"Mau apa sih, Bumi?"

Bumi sama sekali tidak menghiraukannya. Ia lantas mengikuti penjaga toko tadi. "Maunya Princess apa, Mas?"

"Ha?" Bumi kebingungan sendiri.

Icil yang dari tadi cuma berdiri dan memperhatikan Bumi ribet seperti itu, tidak kuasa menahan tawa. "Hahaha, Princess itu ada banyak, Bumi."

"Oh... Iya... ya?"

"Makanya riset dulu."

"Jadi besok mau pergi denganku lagi?"

"Nggak."

"Memangnya ada Princess apa saja, Mbak?"

"Ada Aurora, Cinderella, Snow White, dan Belle."

Bumi berbisik ke telinga Icil dengan wajah sedikit ragu. "Icil, Belle itu yang pangerannya dikutuk jadi monster itu bukan, sih? Yang wajahnya jelek."

"Iya, bener."

"Aha! Ya sudah, Mbak, yang Belle saja. Tolong dicarikan ukuran yang seperti ini ya," jawab Bumi sambil menunjuk Icil.

Mata Icil langsung membelalak saking kagetnya. "Gue?! Kok gue!!!"

"Udah deh," jawab Bumi santai walau sebenarnya ia takut sekali dipukul Icil.

Icil benar-benar geram, ia mengepal tangan kanannya seperti sedang ambil posisi untuk memukul seseorang yang tidak lain tidak bukan adalah Bumi.

"Mari Mbak ikut saya." Dengan mudahnya si Mbak penjaga toko mengajak Icil mengepas kostum yang sudah Bumi pilihkan untuknya. Walau anaknya sangat dingin, ia tidak suka berlaku galak dengan seorang pegawai yang cuma sedang melakukan tugasnya. Jadi untuk kesekian kalinya, Icil harus menurut.

****
Setelah mendapat ukuran yang pas, Bumi segera membayar kostum Belle itu di kasir. Sedangkan Icil menunggu di luar, wajar, ia pasti sedang berada di puncak kekesalannya. Berulang kali mondar-mandir, antara resah atau mungkin sedang menggerutu di dalam hatinya. Dari dalam toko Bumi menonton kegelisahan Icil sambil terus berpikir, kenapa Icil, tidak mau dibuat bahagia? Tuhan, kau ciptakan dia dari apa? Padahal wujudnya indah, sayang sekali kalau hatinya tidak pernah dipedulikan.

Bumi akhirnya keluar setelah kostum itu sudah dibungkus dengan dengan rapi, lalu perlahan ia menghampiri gadis yang dari tadi ia buat kesal. "Bukan untuk kamu kok, Icil."

Icil menoleh lega. "Beneran?"

"Iya, sepupu aku mau ulang tahun, postur tubuhnya tidak jauh beda dengan kamu."

"Ouh, kirain."

"Tapi kalau kamu juga mau, aku belikan, Icil."

"Jangan cari masalah."

"Iya, ampun-ampun, Icil mau ke mana lagi?"

"Yakin nanya?"

"Nggak sih, makan yuk, aku laper."

Percuma kalau dijawab. Selama jawabannya tidak sama dengan Bumi, selama itu pula jawaban Icil cuma sebatas angin lalu. Karena Bumi tahu, Icil cuma ingin pulang, dan ia tidak mau itu terjadi.

Ketika bersama Icil, aku lebih merasa dunia ini punya arti yang berbeda. Aku merasa ada senyuman hilang yang harus segera kutemukan, kata Bumi dalam hati sambil mengajak Icil jalan kaki, katanya ada warung sate yang enak di dekat situ.

Bumi menenteng kantong kertas berisi kostum yang ia beli tadi. Sedangkan Icil yang sejak dari tadi hanya melipat tangannya karena tidak membawa barang bawaan apa-apa, melirik ke arah Bumi yang tetap berjalan seakan tak membawa beban. Warung satenya memang dekat, ketika sampai Icil segera duduk disusul Bumi yang meletakkan barangnya di dekat meja.

"Kamu mau apa? Sate ayam atau sate kambing?"

"Gue nggak laper."

"Tapi kamu belum makan apa-apa, Icil, tadi di Mall kan cuma minum air putih."

"Lo dulu aja."

"Mas, sate ayamnya sepuluh tusuk, nasinya satu, es teh manisnya satu," kata Bumi kepada si penjual sate.

"Pacarnya nggak, pesen, Mas?" Gantian si penjual sate berbalik tanya, yang membuat Bumi tertawa.

"Hahaha, dia maunya sepiring berdua, Mas..." jawab Bumi iseng.

Icil segera mencubit kecil tangan kanan Bumi yang spontan membuatnya teriak-teriak. "Aduh, Icil!"

"Lo tuh nyebelin banget, tau?"

"Ah, masa sih, Icil?" jawabnya sambil memeriksa bekas cubitan Icil ternyata memerah di tangannya itu, berarti tadi Icil benar-benar kesal.

"Mai gue cubit lagi?! Seumur-umur belum pernah gue sekesal itu sama seseorang sampai harus gue cubit kecil."

Bumi melongo. "Ha? Beneran, Icil?"

"Beneran apanya?"

"Aku orang pertama yang kamu cubit kecil?"

"Kenapa sih lo selalu salah mengartikan maksud gue!"

Bumi menyodorkan tangan kirinya. "Nih, Icil, tangan yang satunya lagi belum."

"Bumi!!"

"Kamu itu jangan terlalu kesal denganku, nanti kesalnya berubah jadi kangen."

"Bumi, lo itu emang nggak akan bisa jadi teman gue."

"Iya sih, aku mikirnya juga begitu. Aku memang lebih cocok jadi pacar kamu."

Icil beranjak. "Pulang, yuk!" Wajahnya semakin menggambarkan kepasrahannya. Ia benar-benar sudah tidak sanggup menghadapi Bumi.

"Iya-iya, maaf ya, Icil. Sekarang kita makan dulu, habis itu baru kita pulang."

"Padahal gue bisa pulang sendiri, kenapa juga gue harus menggantungkan waktu gue buat lo."

"Ya, berarti karena kamu memang senang buang waktu kamu buat aku."

"Terserah, gue capek emosi sama orang aneh."

"Berarti kamu nggak akan kesal lagi denganku?"

"Bumi, kenapa sih tiap kali gue bilang A selalu maknai dengan B?"

Satenya datang tepat ketika Bumi ingin menjawab pertanyaan Icil. "Yakin nggak mau? Ini terkenal enak lho, Icil," tanya Bumi berusaha menawari Icil sekali lagi.

"Terkenal atau enak?"

"Maksudnya?"

"Iya, terkenal karena enak, atau enak jadinya terkenal?"

"Maksudnya gimana, Icil?"

"Ngomong sana sama tembok!"

Bumi mulai mengigit sate ayam yang ia celupkan terlebih dulu ke sambal kacangnya. Icil cuma duduk manis, melihat si bapak mengipas-ngipas sate untuk pelanggan berikutnya. Berbeda dengan yang sedang makan, sambil mengunyah, Bumi terus saja memandangi wajah Icil.

Mungkin kini memandangi wajah Icil jadi hobi baru yang sedang ia tekuni. Tak peduli diizinkan atau tidak, ia akan terus melakukan itu percaya atau tidak, memandangi wajah Icil seperti melihat pemandangan indah di dimensi yang tak akan pernah sanggup aku datangi. Untung saja memandanginya masih gratis, kalau berbayar, entah sudah berapa banyak biaya yang aku keluarkan, kata Bumi dalam hati.

New studentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang