Mencandu Racun 6

7.7K 30 0
                                    

"Mandinya lama amat Bi. Oh ya, itu teman darimana?" tanya istriku saat aku keluar dari kamar mandi. Tadi, di kamar mandi, aku tercenung lama mengamati penisku. Aku memarahi diri sendiri kejadian tadi malam. Aku bersihkan seluruh badanku sebersih2nya. Kugosok sekencangnya.  Aku merasa kotor sekali. Ku guyur air badanku berulang-ulang.
"Abi sakit perut. Masuk angin semalam. Oh ya, itu teman baru di kerjaan Ma. Lagi magang mekanik. Baru lulus SMK. Orang Bekasi" jawabku sekenanya.
"Suruh makan. Dari tadi disuruh makan gak mau" ujar istriku.

Setiap hari, aku memang bangun selalu siang. Di angka jam 09.00-an. Biasanya selepas mandi dan sarapan aku menjemput anakku di SD sekitar rumahku. Setelah itu, aku berangkat kerja lagi.
Tp hari itu, aku tak sanggup melihat wajah suci anakku. Aku terlalu kotor. Bahkan utk melihat anakkupun, aku merasa tak pantas. Aku titah istriku utk menjemputnya. Sementara aku akan berangkat bekerja sekalian mengantarkan Tri ke halte busway. Entah kenapa aku menjadi benci sekali kepadanya. Meski ia sendiri kulihat sangat pemalu. Di rumah, jgnkan mau makan, disuguhi minumpun dia tidak meminumnya. Dia hanya duduk sendirian di teras rumah menungguku terbangun.
"Yuk jalan" ajakku setelah berpamitan sama istri. Aku melajukan motor melewati gang-gang sempit di perkampungan rumahku itu. Sepanjang perjalanan ke halte, aku diam seribu basa. Demikian halnya dia. Kami sama-sama diam. Pikiranku msh melayang ke kejadian semalam. Menyesali kejadian itu. Entah yg dia pikirkan apa.
Tiba di halte, aku menghentikan motor di tempat sesuka-ku. Dia pun mengerti untuk turun. Dia berdiri lama dan menatapku malu-malu seolah ingin mengatakan sesuatu. Tapi ahh persetan. Baru saja aku mau tancap gas pergi, dia memanggil.
"Bang... makasih semuanya" katanya tertunduk malu.
Aaahh makasih taik kucing. Gumamku dalam hati. tapi tak ku ucapkan. Entahlah, aku sprti kehilangan empati terhadapnya. Lalu tak kuduga, dia meminta nomor ponselku. Kucing!

"Buat apa nomor telp saya? ini pertama dan terakhir kali kita bertemu. Jd ga penting nomor telp itu," jawabku seraya bersiap melajukan motor.
"Aku ingin sekali kenal abang. Abang yg menolongku memberikan tumpangan hingga sampai di sini. Semalam aku sudah tidak punya uang utk pulang karena dibohongi teman. Dan abang datang menolong. Apa salah bang meminta nomor telp. Aku juga tidak berharap bertemu abang lagi?" bebernya sambil tertunduk.
Dari balik helm, aku diam2 melihat matanya. Ada kejujuran di sana. Tak pikir panjang karena buru2 juga, aku memberikan nomor ponselku. "Awas kamu kalau sms macam-macam" kataku mengancam seraya memberinya uang 20rb. "Tidak akan bang. Demi Tuhan. Terimakasih banyak bang" timpal dia.
Ya Tuhan, bahkan kami tidak saling mengenal nama masing-masing.

Dalam perjalanan menuju tempat bekerja, pikiranku kalut sekali. Kejdian semalam masih membayangiku. Betapa jijiknya jika ingat hal itu. Perasaan bersalah dan berdosa makin melekat saja. Aku berharap semoga kami tidak dipertemukan lagi.
Tapi benarkah kami berdua tidak akan pernah bertemu lagi?

bersambung


Mencandu RacunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang