Chapter 4. Nasehat Papa

89 15 1
                                    

Terkadang melepaskan apa yang tidak ingin dilepaskan, itu diperlukan. Percaya atau tidak kamu akan merasakan sendiri manfaatnya.

***

Saat ini Sabira tengah berdiri di halte untuk menunggu bus yang akan ia tumpangi menuju sekolah, namun sudah hampir lima belas menit ia berdiri disana namun bus yang ia tunggu tak kunjung datang.

Gadis berhoodie hitam itu melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya, sudah hampir jam tujuh— raut Sabira berubah gelisah. Ia bisa terlambat ke sekolah jika begini.

Tidak bisa, ini tidak bisa dibiarkan— kalau sampai ketahuan membolos oleh Ayahnya bisa-bisa ia kena damprat.

Sabira celingak-celinguk mencari angkutan umun lain yang bisa mengantarkannya ke sekolah karena sebentar lagi gerbang sekolah akan di tutup.

Namun sepertinya pagi ini keberuntungan tidak berpihak pada Sabira, karena sudah berulang kali ia mencoba menghentikan taksi pun angkot tapi tidak ada satu pun yang berhenti memunggut dirinya yang malang ini, hiks.

Dua puluh menit berlalu tapi Sabira masih berdiri disana, sampai akhirnya ia menyerah dan memilih duduk dibangku panjang yang tersedia seraya menghela nafas lelah.

Astaga, Sabira tidak pernah menyangka mencari angkot yang tidak penuh dan taksi yang kosong akan sesulit ini. Rasanya ingin menangis tapi air mata tak kunjung keluar.

Di halte itu tidak ada siapapun selain Sabira, jadi ia menselonjorkan kaki dibangku panjang tersebut. Sesekali gadis itu menatap jalanan kemudian beralih melihat jam yang sudah setengah delapan lewat. Ia sudah terlambat, lagi-lagi menghela nafas lelah. Padahal ia sengaja bangun subuh-subuh meski tidak solat karena sedang datang bintang, untuk menghindari macet mengingat ini hari senin jadi ia harus datang lebih awal dari biasanya karena harus mengikuti upacara, nyatanya ia tetap berujung terlambat.

Sialan, tahu begini sekalian saja ia tidak usah berangkat sekolah.

Ketika Sabira sibuk menggerutu dalam hati, tiba-tiba sebuah motor sport berhenti di depannya. Sebelah alisnya terangkat karena mengenali motor itu, tidak lama sosok yang duduk diatas motor sport berwarna merah itu membuka helm full facenya, menampakkan wajah tengil seorang cowok.

"Gue kira gue salah liat, ternyata emang bener lu, Bir."katanya menatap bingung kearah Sabira. "Ngapain lu disini? kek anak di buang aja."tanyanya kemudian.

"Bacot lu, Zav. Anterin gue ke sekolah." Sabira bangkit dari selonjoranya lalu mengangkat roknya hingga memperlihatkan celana legging sport yang ia kenakan kemudian naik ke atas motor Zavier tanpa permisi.

Zavier cengo melihat tingkah Sabira. "Heh, kodok juma! Lu pikir gue tukang ojek yang bisa lu suruh-suruh?"

"Kalau lu mau jadi tukang ojek gue sih, yaa gue gak akan nolak." tanggap Sabira, santai.

"Ogah."tolak Zavier mentah-mentah.

Sabira tidak terlalu memperdulikan ucapan cowok itu. "Cepet anterin gue ke sekolah."

"Gak mau, gue kan bukan kang ojek."

"Buruan anterin gue, Zav, udah telat ini." pinta Sabira setengah memaksa.

SABTWO [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang