"Kamu ini kan anak Sultan. Hape kamu aja lebih mahal dari harga motor second. Belum lagi dompet kamu yang pasti isinya bukan cuma uang. Tinggal paksa kamu nyebut nomor pin, bisa aku kuras semua isi rekening kamu. Dan satu lagi ...." Eno memutus kalimatnya, menatapku dari atas hingga bawah dengan mata mencurigakan.
"Satu lagi hal yang paling berharga dari kamu. Aset yang bikin kamu makin mahal dan istimewa," sambungnya sambil meremas belakang leherku.
"A-apa?" Aku jadi beringsut melihat tatapannya itu.
Dia mendekat padaku seraya mengigit bibirnya sensual. "Kamu masih perawan."
Deg. Jantungku melonjak. Mataku membundar menatap Eno.
"Kamu ini cantik. Dan apa kamu tau, berapa seorang hidung belang berani membayar untuk ABG yang masih perawan kek kamu?" Mata Eno kian mengintimidasi.
Aku menelengakan kepala dengan sekujur tubuh sudah merinding karna ngeri.
Eno mendekat padaku. Lalu berbisik di telingaku. "Aku bisa aja jual kamu ke mereka."
"Eno!" Aku membentak seraya mendorongnya menjauh. Ohh ... kurang ajar sekali dia!
Eno bergeming. Menatapku dengan seringai yang menakutkan. Aku sungguh takut melihatnya begitu.
"Kamu ... kamu enggak beneran punya pikiran begitu, kan?" Aku sudah berdebar hingga nafasku terasa sesak.
Eno masih diam. Oh ya Tuhan? Apa yang dia pikirkan?
"No?" Aku makin mundur menjauh.
"Kalau aku terdesak, bisa aja aku ngelakuin itu. Kamu dan semua aset yang kamu punya, seenggaknya ... lima puluh juta? Atau lebih ... fantastis."
Glek. Aku menelan ludah. Apa maksud dia berkata begitu. Aku tak percaya ini. Apa Eno sepicik itu? Tega sekali dia ... hiks.
Beberapa detik kemudian. "Pff ... pff ... pff ... ahahahaha ...." Tawanya meledak. Lalu terbahak sambil menudingku.
"Kamu harus liat kayak apa wajah kamu sekarang, Ayy ...!" tunjuknya padaku.
Kurang ajar! Astagaa ... aku kesal sekali. Kuambil semua barang yang berada di dekatku. Bantal, tas, hingga helm lalu kelemparkan padanya.
"Brengsek, kamu!" umpatku murka. Arrgghh ... aku marah sekali! Enoooo ....
"Ampun! Udah, Ayy!" Dia hanya berupaya menghindar masih sambil tertawa.
Aku memukulnya beberapa kali. Dia benar-benar menyebalkan.
"Enggak lucu, tau enggak?" hardikku."Iya, iya. Ya ampuun. Aku kan cuma bercanda." Dia mendekat lagi padaku.
"Ugh!" Aku menepisnya dengan kasar.
"Enggak'lah. Enak aja!" Eno memelukku erat. "Ga mungkin aku lakuin semua itu. Perawan kamu kan cuma buat aku. Hehee ...."
"Enggak! Aku enggak mau!"
"Eh?" Dia tersentak. "Terus buat siapa?" Pelukannya padaku terlepas.
"Buat suami aku!"
"Aku, kan?"
"Pede, kamu!" sentakku seraya turun dari tempat tidur.
"Perawan aku cuma buat suami aku yang pastinya bukan berandalan!" sambungku.
Eno tercekat menatapku. "Bukan aku?"
Aku mencibir saja.
Wajah Eno meredup. Mendelik sinis padaku. Dia merebah ke kasur. "Maaf. Aku lupa. Kamu pasti pengen lelaki yang sepadan sama kamu. Yang mapan, mobilnya banyak, lulusan universitas luar negri, dan juga keturunan ningrat. Harusnya aku ngaca, berandalan macam aku ga usah mimpi ingin jadi suami kamu. Calon montir aja banyak halu." tutur Eno mencibir dirinya sendiri.