13. Leon calon abang beneran

335 37 9
                                    


Elusan di pipi membuat tidur gue harus terganggu, membuka mata yang masih berat dan gue mendapati wajah Yunis yang tersenyum cerah.

"Jam berapa ?" Gumam gue, kesadaran gue masih belum pulih. Yunis masih mengelus pipi gue, dan entah sejak kapan tangan lainnya terulur menjadi bantalan gue tidur.

"Jam 6" jawab Yunis, tiba-tiba gue merasakan kecupan di bibir. Wajah Yunis beneran terlihat cerah, padahal dia baru bangun tidur.

"Kamu kenapa sih ? Cerah banget. Padahal semalem gak dapet jatah" celetuk gue begitu saja, Yunis terkekeh dan malah kembali mengecup bibir gue.

Tangan yang tadi mengelus pipi gue bergerak turun, kini tangannya mengelus ke arah perut. Seakan paham, gue pun ikut tersenyum. Bergeser untuk masuk ke dalam pelukan Yunis, dia membalasnya dengan tangan yang masih di perut.

"Makasih, ya" ujarnya.

"Kamu makasih terus dari kemarin, udah ah nanti aku nangis"

Beneran, gue sekarang malah pengen nangis mendengar dia bilang makasih terus semenjak gue memberi kabar kalo gue lagi hamil anak kedua.

Hamil kedua ini terasa beda sama saat gue hamil Leon, kehamilan pertama gue gak merasakan namanya perubahan mood sebesar ini. Apalagi manja sama suami sendiri, malahan kesannya gue kayak gak hamil. Ngidam pun enggak dan morning sickness pun juga enggak.

Tapi hamil kedua ini...

Bentar, ke wc dulu...

"Yang" panggil Yunis, gue lagi di kamar mandi sekarang. Sedang mulai mual, dengan sabar Yunis memijat leher gue dan memegangi tubuh gue karena lemas. "Udah ?" Tanyanya saat gue mulai membasuh mulut.

Gue pun mengangguk, badan gue lemes banget. Bahkan hampir jatuh kalo aja Yunis gak megangin, dia langsung mengangkat tubuh gue untuk kembali ke ranjang. Mual gue masih terasa, padahal barusan udah muntah sampe lemes.

"Aku bawa air dulu ya" ujar Yunis, dia baru aja berdiri tapi gue menahannya. "Kenapa ?"

"Bikinin air jahe boleh ? Katanya kalo minum itu mualnya mendingan" ucap gue, Yunis mengangguk sambil tersenyum. Dia mengecup pelipis gue lebih dulu baru keluar.

Menatap ke atas, tangan gue mengelus perut rata gue. Beberapa bulan lagi akan terlihat, perlahan gue malah pengen nangis. Akhirnya, penantian selama 4 tahun gue bakal punya anak lagi.

"Mama nangis ?" Suara Leon membuat gue menoleh, terlihat wajah Leon seperti siap menangis. Gue mengubah posisi menjadi duduk, merentangkan tangan dan Leon langsung lari ke arah gue.

Dengan susah payah dia naik ke ranjang dan memeluk tubuh gue, "Mama jangan nangis, huaaaa" gue tertawa. Karena yang awalnya gue pengen nangis malah jadi Leon yang nangis.

"Mama gak nangis, sayang. Liat nih" gue menjauhkan kepala Leon agar bisa menatap gue, Leon masih sesegukan dan hidungnya sudah merah.

"Tapi Mama sakit ? Kenapa Mama tiduran ? Kenapa Papa yang bangunin Leon ? Kenapa Papa yang masak, Mama jangan sakiit" Leon kembali menangis, gue membawa Leon ke pangkuan dan memeluknya.

"Mama gak sakit, tenang aja. Mama lagi lemes aja abis muntah"

"Mama muntah ?! Berarti Mama sakit, jangan sakiitt"

Kayaknya gue salah ngejelasin, Leon malah makin nangis. Tak lama Yunis datang, dengan segelas air jahe. Dia terkejut melihat wajah anaknya yang merah karena menangis.

"Lho ini jagoan Papa kenapa nangis ?" Tanya Yunis, dia meraih Leon ke dalam pangkuannya setelah meletakan gelas ke atas nakas.

"Mama sakit, Papa" teriak Leon, Yunis menatap gue dan gue masih tertawa geli. "Mama munta, Papa. Berarti Mama sakiit" Leon masih saja menangis.

HIM : My Husband || Cho SeungyounTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang