i want you to come

43 14 38
                                    

Lagu untuk chapter ini : the weight - shawn mendez

"Ini. Sudah kutandatangani. Harus kuakui, Scott, kau cukup hebat bisa menyelesaikan skripsimu yang tertinggal jauh. Kau bisa mendaftar untuk sidang sekarang." Ujar Profesor Jusuf sambil menyerahkan naskah skripsiku, dan sekali lagi, membetulkan posisi kacamatanya.

"Aku ingin segera keluar dari kampus ini." Jawabku asal.

"Yah! Segeralah keluar. Aku akan senang jika mahasiswa bimbinganku berkurang. Kau sudah sedikit mencoreng reputasiku karena terlambat lulus." Jawaban pria setengah botak dan berkacamata itu nggak kalah sarkas denganku. Dia menepuk pundakku santai, tanpa ada raut tersinggung dari wajahnya. I like this man so much. He knows how to deal with a young man like me.

Aku hanya tersenyum kecil, mengambil naskah skripsiku dan meninggalkan meja Profesor Jusuf menuju ruang akademik untuk mendaftar sidang.

Drrrttt

Ponselku bergetar tepat ketika aku hendak melangkahkan kaki keluar dari ruang akademik.

Aku mendegus ketika melihat nama Sandra muncul di layar notifikasi.

*David, bisa kita bicara? Temui aku di kafetaria kampus*

*Aku sibuk*

*Nggak bisakah kau datang meskipun hanya lima menit? Ini penting, please*

Memangnya seberapa penting hal yang ingin dia bicarakan? Meskipun enggan, aku memutuskan untuk menuruti permintaannya dan menuju kafetaria sambil membawa naskah skripsiku. Begitu Sandra melihatku, dia langsung memulai pembicaraan dengan sebuah ucapan selamat karena telah menyelesaikan skripsi.

"Aku baru akan sidang minggu depan" jawabku datar.

Sandra memperhatikan gerak-gerikku selama beberapa saat dan membuatku risih. Dia nggak mengucapkan apapun setelah memberiku selamat, jadi kuputuskan menyibukkan diri dengan ponselku dan menunggunya bicara.

"Jadi kau akan mulai bicara atau tetap memperhatikanku bermain ponsel?" Tanyaku kemudian, meletakkan ponselku di atas meja. Gadis itu menghela nafas pelan, wajahnya nampak ragu.

"Ada apa?" Tanyaku lagi.

"Aku nggak tahu bagaimana memulainya. Aku takut kau akan semakin marah padaku."

"Kalau kau sudah tahu jawabannya maka jangan katakan. Aku sudah bisa menebak apa yang ingin kau katakan."

Ya, jika ada hal yang membuatku semakin marah padanya, itu adalah topik soal keluargaku. Aku memang belum sepenuhnya memaafkan Sandra soal makan malam waktu itu, dan aku masih berusaha menetralkan rasa kesal pada diriku sendiri akibat curhatan bodoh yang kuucapkan pada Sandra di telepon.

Gadis itu kemudian mengambil sesuatu dari tasnya dan meletakkannya di atas meja tanpa mengatakan apapun. Seketika, aku geram melihat apa yang disodorkannya padaku. Sebuah undangan pernikahan dan tiket pesawat.

"Are you fucking kidding me, Sandra?!" Aku menatapnya tajam, menuntut penjelasan darinya.

"Ibumu memberiku undangan dan riket beberapa hari lalu. Dia ingin aku datang."

"Kau tidak akan datang." sahutku.

"Kenapa tidak?"

Love, Hate, Future, and PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang