Prolog

122 27 1
                                    

Ruangan yang berukuran 4×7 m tersebut terasa hening. Dingin. Hanya terdengar suara dari layar monitor, menampilkan detak jantung yang kini stabil. Seseorang dengan setelan jas putih tampak menghela napas sembari memijat pelipisnya pelan. Sedangkan pria yang sedari tadi berdiri dipojok ruangan begitu cemas, mulutnya berkomat kamit mengucapkan doa doa. Berharap bahwa yang sedang terbaring diranjang yang sama sekali tidak ingin ditiduri siapa pun, akan baik baik saja.

"Berapa usianya sekarang?" tanya sang dokter.

"Bulan depan dia berusia delapan tahun."
Dokter kembali menghela napas. Ia melangkah, mengajak seseorang yang ia ajak bicara untuk keluar dari ruangan yang terasa pengap.

"Bagaimana keadaannya selama tiga tahun ini? Apa ada perubahan?" Dokter tersebut kembali bersuara.

"Tidak, tetap dan sama saja seperti tiga tahun terakhir saat pertama kali kau memeriksanya. Tidak ada perubahan," timpalnya dengan lemas.

Mereka masih berjalan, menuju taman depan rumah sakit yang kini sudah mulai terlihat.

"Aku khawatir, bagaimana bisa dia terus menjalani hidupnya seperti itu? Aku mau dia bahagia, aku ingin melihatnya tertawa. Sekecil itu dia harus menderita, aku tidak rela. Kenapa dia harus menderita penyakit seperti itu?" cerca pria yang kini berusaha mati matian menahan tangis.

"Aku paham kau begitu menyayanginya. Aku akan berusaha mencari jalan keluar, karena kau sahabat ku. Aku akan berusaha."

Kepalanya yang tertunduk mengangguk pelan. Mengiyakan sekaligus mengucapkan rasa terima kasih yang begitu besar.

"Tapi jangan berharap banyak, aku tidak tau berapa persen kemungkinan dia bisa bertahan untuk menjalani hidup,"

Yang semula kepalanya agak tertunduk, kini menengadah menghadap temannya yang menjadi dokter tersebut dengan mata yang masih berusaha menahan tangis.

"Kemungkinan terburuk bisa datang kapan saja. Siap tidak siap, kita harus rela."

Dia memejamkan matanya, menangkis pikiran buruk tersebut, mencoba membantah ucapan sang dokter yang sudah ia kenali sejak dulu. Namun hanya rasa sedih yang ia rasakan. Air matanya lolos begitu saja meski matanya masih terpejam.

"Maaf, tapi aku harus mengatakan hal tersebut. Kau berdoa saja, aku pergi dulu. Kau pasti butuh waktu sendirian," ujarnya yang sesaat sebelum berlalu sempat menepuk pelan bahunya.

Pria itu kini terduduk, sendirian. Tangannya menangkup wajahnya yang kini memerah, menangis. Sekeras apapun ia berusaha tegar, ia tetap lemah jika harus memandang anak satu satunya seperti itu. Lemah karena penyakit. Kenapa tidak dia saja yang sakit? Kenapa harus anaknya yang begitu ia sayangi yang harus menderita?

Ia mengusap wajahnya kasar, lalu memeluk lututnya. Masih dengan tangis yang kini semakin menjadi.

"Aku mohon, kali ini saja Tuhan. Jangan ambil dia secepat itu, beri dia kesempatan untuk hidup. Aku ingin melihatnya tumbuh lebih lama, aku ingin melihatnya menjadi dewasa. Aku pun ingin dia menemaniku, aku sudah lemah. Jangan Kau buat aku semakin lemah. Aku mohon, dia kini jiwaku. Cukup sekali saja, Tuhan. Cukup sekali saja. Aku tidak ingin kehilangan siapa pun lagi. Tidak mau,"

Tangisnya pecah, tak tertahan lagi setelah beberapa kalimat yang baru saja ia loloskan dari bibirnya. Gerimis, pria itu masih setia memeluk lututnya dibawah air hujan yang mulai deras. Tak peduli, dia hanya ingin Tuhan mengabulkan doanya, mengiyakan permintaannya. Hatinya sudah rapuh, cukup sekali dia kehilangan seseorang yang ia cintai, jangan kedua kalinya. Jangan yang satu ini. Jangan siapa pun, ia tak mau kehilangan lagi. Jika boleh dia saja yang pergi. Karena saat ini wanita yang ia cintai sudah tak seperti dulu lagi. Jujur saja dia sudah lelah.

•••

Tenang, cerita ini pengganti cerita ku yang di unpublished. Berat banget padahal tapi yaa, ekheemmm terpaksa karena suatu alasan:')

Pokoknyaa jangan lupa vote and comment kalo kalian suka. Aku seneng kalo kalian seneng, support kalian sangat berarti^^

December 16, 2020

Euphoria (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang