Bagian Dua

59 18 0
                                    

"Astagfirullah, punya temen gini amat. Goblok semua."

•••

Citra tampak sibuk dengan bedak yang ada ditangannya. Sedari tadi ia terus saja memandangi wajahnya dikaca yang menempel dibedak tersebut. Berkali kali ia memoleskan bedaknya dipipi dan dahinya. "Nah kan, kalo gini gue keliatan makin cantik," ujarnya memuji diri sendiri.

"Iyaa iyaa cantik. Saking cantiknya kambing di deket rumah Pak Juki aja kalah."

"Lo nyamain gue sama kambing?" pekik Citra kesal.

"Bercanda, sahabat gue yang satu ini emang cantik kok." Tyas tersenyum dengan sangat terpaksa agar telinganya aman dari teriakan Citra.

"Emang iyaa. Ehh ini pada kemana sih mereka berdua. Katanya mau nyusul ke kantin," sungut Citra sambil mengedarkan pandangannya.

"Coba lo chat, tanya mereka ada dimana."

Citra menurut, ia pun mengirimkan pesan pada temannya. "Ehh itu mereka tuh," seru Tyas, tangannya tak lupa memukul lengan Citra dan menunjuk kearah temannya yang baru saja tiba.

"Baru aja gue chat lo," aku Citra, memasukkan ponselnya kedalam saku.

"Nih, Killa lama banget ditoiletnya. Gatau ngapain." Nada suara Dhiyana dibuat buat, ditambah dengan alisnya yang naik turun menggoda Akilla.

Tyas tertawa senang. "Abis nganu kali, makanya lama."

"Heh, pikiran lo minus banget. Mana ada gue kayak gitu," semprot Akilla.

"Terus ngapain lo selama itu ditoilet?" Dhiyana mencoba memancing emosi Akilla.

"Nguli kali," cetus Citra seenaknya.

"Stress."

"Bukan temen gue itu."

"Cih baperan."

"Kita kekantin mau makan apa mau debat?" Akilla memandang ketiga temannya itu.

"Makan lah bego," cela mereka bertiga bersamaan.

"Ini kenapa jadi gue yang dihina kayak gini sih?" Akilla memijat pelipisnya, pusing dengan sikap ketiga sahabatnya yang kurang ajar. Meskipun mereka terkadang baik, namun tetap saja Akilla selalu sebal jika mereka sudah seperti ini. Pasalnya Akilla selalu saja menjadi sasaran terakhir dari hinaan dan celaan mereka.

"Dhiya, lo aja sana yang pesen makanan." Tangan Akilla mendorong bahu Dhiyana kuat.

Dhiyana menukikkan alisnya tak terima. Ia hampir saja tersungkur. "Ogah, ngapain lo nyuruh nyuruh gue? Kalo orang lain bisa kenapa harus gue?"

"Gamau tau, suruh siapa tadi lo mulai debat. Udah sana pesenin makanannya. Lo pasti udah hapal apa aja menu kesukaan kita kan?"

"Bacot." Dhiyana pun melengos, memesan makanan pada sang penjual.

Akilla menatap sekeliling kantin. Tak terlalu ramai, karena memang murid siswa SMA Angkasa lebih banyak membawa bekal sendiri dari rumah. Meskipun terkadang mereka membeli makanan dikantin, mereka lebih sering memakannya dikelas.

Saat Akilla sibuk menatap beberapa siswa yang kerap kali ia jumpai, tanpa sengaja matanya menangkap sesosok laki laki yang begitu asing baginya. Akilla menyipitkan matanya, mencoba melihat dengan seksama laki laki tersebut hingga laki laki itu pun berbalik menatap kearah Akilla. Tentu saja Akilla terkejut, beberapa detik kemudian Akilla memalingkan pandangannya. Menatap kearah lain. Lalu saat Akilla ingin melihat kembali sosok itu, ia sudah menghilang. Meskipun matanya berkeliaran kesana kemari, tetap saja tak ia jumpai.

Euphoria (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang