No Reason Why ✅

Chapter - 7. Her Point of View

HAPPY READING 📖

-----------------------------------------------

Angeline Sullivan, sosok wanita berusia 25 tahun. Berambut hitam pekat dan berkilau, sekaligus sosok yang digemari laki-laki. Laki-laki yang perasaannya pilih adalah Griss. Ia sudah jatuh cinta pada pandangan pertama pada Griss. Ia tahu ia dan Griss akan bersatu karena Griss adalah takdirnya. Entah kenapa ia bisa membuat pernyataan begitu, tapi hatinya memang berbicara Griss miliknya.

Sebelum Griss mengenalnya, ia terlebih dulu mengenal Griss saat SMA. Griss menjadi kakak kelasnya saat itu. Pendiam dan keras. Jika sekali buka mulut, lawan bicaranya akan terdiam. Itu yang ia suka dari Griss. Mengintimidasi, tatapan yang penuh arti, berjiwa hangat, dan perhatian. Ia layaknya penguntit bodoh yang mengamati kegiatan Griss sehari-hari. Ia terlalu pengecut untuk mendekati Griss karena dari rumor yang ia dengar, Griss tak suka dengan wanita mana pun dan pernah Griss menolak mereka terang-terangan. Ia tak mau mengalami hal sama, maka lebih baik ia menyukai Griss dalam diam.

Entah berjodoh atau bagaimana, ia satu kampus bersama Griss dan jangan tanyakan bagaimana bahagianya ia karena dipertemukan lagi. Padahal ia sama sekali tak berharap akan bertemu lagi dengan Griss setelah setahun tak berjumpa.

Sama seperti yang ia lakukan sewaktu SMA, ia memerhatikan Griss dari jauh walaupun hatinya mulai memberontak untuk berani mendekati Griss. Tidak ada yang tahu ia menyukai Griss termasuk teman-temannya karena ia takut mereka akan memberitahu Griss. Ia tak mau Griss menjauh apalagi membencinya.

Bertahun-tahun begitu terus, tidak ada perubahan. Hingga Christine memasuki kampus mereka, di situlah ia tahu bahwa selama ia menyukai Griss, Griss telah menjalin hubungan dengan Christine, adiknya. Rasa sakit itu mungkin tidak sesakit saat mengetahui Griss menjalin hubungan bersama orang yang tak dikenal, tapi ... Christine, adiknya yang mendapat hati Griss. Mulailah ia bersikap kasar pada Chris. Membentaknya walau adiknya tak melakukan kesalahan. Itu sebagai pelampiasan karena sakit hatinya yang mendalam. Ia tak menyadari bahwa sosok yang mengajak Chris berkencan semasa SMA adalah Griss. Bayangkan selama itu ia menyukai Griss, Christine pula yang mendapatkannya.

Ketika Christine sakit, ia membukakan pintu untuk Griss dan mengagumi sosok itu untuk sesaat. Dengan bunga yang berada di genggaman, ia berharap banyak itu untuknya. Sayang, saat Griss berkata, "Apa Christine ada di rumah?"

Ia bak porselen yang mudah rapuh, akhirnya pecah berkeping-keping. Hubungan Griss dan Christine yang sudah terjalin lama dan hendak ke jenjang yang serius, ia mengadu pada sang ibu agar dijodohkan dengan Griss. Alasan yang akhirnya meluluhkan sang ibu adalah menuduh Christine hamil dengan menunjukkan testpack yang ia palsukan lalu mendekati Griss yang kecewa dan mengajukan diri sebagai pengantin karena undangan sudah tersebar. Ia sengaja melakukannya. Ia tak mau Christine menyandang nama belakang Griss apalagi mereka sudah bertunangan. Berbagai cara ia lakukan akhirnya berhasil. Seminggu kemudian, mereka menikah dan tak bisa dijabarkan bagaimana ia bahagia.

Ia mengganti peran Christine dalam balutan gaun putih dan wajah yang ditutupi tudung. Skenario agar ia yang mengganti Christine tak ketahuan oleh tamu saat sesi mencium pasangan, wajahnya ditangkup oleh jemari Griss dan secepat kilat ciuman itu berlangsung lalu tudungnya kembali ditutup. Tak bisa dijelaskan seberapa gugupnya adegan itu berlangsung. Meskipun hanya beberapa detik, tapi ia tahu itu akan terjadi sekali seumur hidup karena Griss belum mencintainya.

Kebenaran akhirnya terungkap saat pesta pernikahan selesai. Christine mengampiri mereka yang kebetulan hanya berdua di lobi hotel. Kesalahan-kesalahannya, kebenaran tentang ia menyukai Griss dari SMA, dan tuduhan atas kehamilan palsu Christine dipaparkan pada Griss. Sejak itulah kebencian Griss timbul apalagi dengan pengakuan Christine yang menderita karena tuduhan palsunya.