Keterkejutan terjadi dalam diri seorang pria yang berprofesi sebagai seorang dokter, "Lho, dokter Padma?"
"Eh, dokter Goris." Karena rekan sejawatnya tiba-tiba saja berlaku kurang sopan, seperti sedang menguping, dan mungkin juga mengintip dari celah lubang kunci saat tertangkap basah dalam keadaan setengah berjongkok.
"Kok ada di depan sini, Dok?" Orang itu tentu saja dokter Padma, yang lalu kebingungan mencari alasan hingga warna wajahnya sedikit memucat.
"Anu. Itu, Dok. Pa..pasien di dalam, selamat kan?" Semua bukan tanpa alasan ibu dua anak itu harus menjadi bulan-bulanan di dalam pikiran dokter Goris yang merupakan ahli penyakit dalam, karena memang rasa penasarannya terlampau sukar untuk dikalahkan.
Mencoba untuk tetap sopan tanpa bermaksud untuk menegur sang senior, dokter Goris pun bertanya baik-baik, "Maaf, Dok? Anda kenal dengan--"
"--Itu ibu mertua dari pasien saya, Dok. Beliau dan suaminya ada di kamar pemeriksaan, shock dengerin kabar ini, terus deh berpengaruh sama kandungannya yamg lemah." Namun, dokter Padma memotong ucapan itu dan berbicara cepat tanpa menunggu, menggambarkan bahwa memang kepastian sangat ia butuhkan saat itu.
Sadar akan bahasa tubuh yang terlihat di depan mata, dengan sangat menyesal dokter Goris harus lebih dulu menurunkan kedua bahu tegasnya, sebelum berbicara, "Oh, istrinya pak Torra ada di dalam ya? Em, maaf ya, Dok? Boleh saya bicara langsung sama beliau?"
"Boleh kok, Dok. Cuma itu tadi. Em, maksud saya ibu mertuanya pasien saya. Selamat, atau enggak ya, Dok?" Mengelak dilakukan dokter Goris dengan tujuan privasi, tetapi wanita di depannya itu tetap kekeuh pada pendiriannya.
Memilih cara lain untuk memenangkan pertandingan dengan seniornya yang cantik, ahli penyakit dalam itu pun menggunakan cara licik, sama seperti saat dirinya mulai mencari mangsa, "Dokter Padma sudah punya suami belum?"
Tak urung terbata dan sedikit gelagapan itu terjadi di depan pandangan mata dokter Goris, "Hah? Su..sudahlah. Kenapa emangnya? Saya kelihatan kayak masih gadis ya?"
"Enggak. Saya cuma mau bilang, pasti dokter Padma orangnya dominan kan di ranjang? Apalagi seorang Obygn gitu." Namun, bukannya berhenti sampai di situ saja, dokter Goris terlihat semakin fasih menggoda.
Nada yang meninggi pun dokter Padma berikan sebagai tameng dalam melindungi dirinya dari kegilaan juniornya, "Apa hubungan? Anda tidak sopan, Dok! Itu ranah pribadi saya!"
"Apa bedanya? Ini juga wilayah privasi saya lho, Dok. Kalau Anda kepo, mendingan masuk saja langsung ke dalam ya kan? Dengan begitu, aksi tebar pesona kayak gini nggak harus terjadi dan menjauhkan martabat."
"Hah? Dengar ya, Dokter Goris! Saya tidak sedang tebar pesona sama dokter brondong seperti Anda! Tolong jaga sikap, karena kedudukan kita berbeda di sini!" Tekanan darah pun dibuat kian menembus hingga mencapai ke frekuensi atas diri dokter Padma, tetapi ia kalah telak hingga harus menyerah pada keadaan terasa mulai menjerumuskan.
"Tapi kalau di ranjang, kedudukan kita bisa sama lho, Dok. Mau dicoba ng-- Lho? Kok kabur? Hahaha..." Sebagai seorang tenaga medis, tertawa keras selepas gagal menyelamatkan nyawa seseorang, sungguh sangat tidak santun untuk ditiru.
Beruntung Gregory Martin, SpPD cepat menyadari kesilapannya di sana, melangkah menuju ke pintu utama Instalasi Gawat Darurat untuk memberitakan semuanya. Ia mencari keluarga pasien dan hanya menemukan Veronika seorang, membuat wanita itu meraung seperti kedua anaknya saat sedang menangis.
Torra yang datang dari arah belakang, pun hanya bisa tertegun dengan dugaan yang mengarah ke satu tujuan, "Vero?! Ada apa ini?"
"Mas, mama sudah pergi! Mama, Masss...!" Dan tampaknya itu bukan hanya sekedar perkiraan, melainkan seperti nyata, saat tangisan Veronika pecah di dalam dekapan kerasnya.
"Itu nggak mungkin terjadi secepat ini kan, Dok? Orang kami semua belum lihat mama kok dari tadi. Jadi Anda pasti cuma bercanda kan?" Tuntut Torra menatap iris coklat dokter Goris yang tampak tercengang dengan apa yang dituduhkan padanya.
Dokter Goris pun menghela napas berat sembari melepas kaca mata minusnya dari batang hidung mancungnya, dan setelah dua belas detik memindai seluruh anggota keluarga, penjelasan panjang itu hadir tanpa bisa ditunda-tunda lagi, "Pembuluh darah di otaknya pecah, pak Torra. Sistem pencernaannya juga rusak parah akibat zat-zat kimia yang terkandung di dalam cairan pembersih porselen. Daerah sekitar perutnya bahkan sudah nyaris seperti batu, padahal di awal-awal harapan hidup itu masih cukup besar."
"Kalau begitu kenapa dokter tidak berusaha, hah? Kenapa membiarkan mama saya pergi dengan keadaan menyedihkan parah begini?" sahut Veronika di tengah isak tangisnya yang masih terjadi.
Ikut merasa bersalah dengan tuduhan yang tidak mendasar, jujur saja dokter Goris sebenarnya enggan untuk menyahuti kalimat tersebut, tetapi suka tidak suka ia harus menjabarkannya lagi demi kebaikan bersama, "Saya sudah berusaha semaksimal mungkin dengan peralatan Automated External Defibrillator paling bagus di rumah sakit ini, tapi tidak ada perkembangan yang signifikan. Untuk urusan Rapid Cycling sendiri itu bukan bagian saya, karena ibu Anda adalah pasiennya dokter Marko. Dari analyze riwayatnya juga sudah cukup akut walaupun belum bisa dikategorikan sebagai Orang Dengan Gangguan Jiwa, tetapi Hipomania berulang-ulang selama bertahun-tahun tanpa disadari hingga melewati Bipolar 2, seharusnya Anda tidak menempatkannya di sini. Saya ikut berbelasungkawa, pak Torra. Masuk saja ke dalam dan boleh terus sampai ke kamar jenazah untuk mengurus surat kematian atau apapun menurut petugas-petugasnya di dalam. Sekali lagi, tolong maafkan saya."
Tragis. Hipomania adalah gejala awal di mana Theresa bisa menjadi seorang ibu yang tidak memiliki belas kasihan sama sekali pada kedua anaknya. Kisah berawal dari berpuluh tahun lalu saat dirinya mengalami patah hati sekaligus broken home akibat perceraian kedua orang tuanya, tetapi sebagai seorang putri sulung, ia tak dapat berbuat banyak selain merelakan pendidikan terputus.
Mencari uang untuk membiayai dirinya sendiri yang terbiasa hidup enak bersama segala fasilitas terbaik tetapi tiba-tiba saja harus terputus ketika ayahnya memilih wanita lain, membuatnya bertemu dengan Thomas Mahardika dan membawanya ke pulau Timor, tetapi kekecewaan tetap mendarah daging hingga menciptakan segala sikap buruk di dalam dirinya.
Terlebih lagi Thomas merupakan kategori pria penyabar yang tidak banyak mempermasalahkan segala kedzaliman istrinya, maka terjadilah demikian, kesalahan di atas kesalahan menumpuk setinggi langit dan sukar untuk dikendalikan.
Belum lagi ketika kedua keturunannya memilih kehidupan lain yang berbeda dengan keinginan sang ibu, maka kasus pun naik menjadi ke tingkat lainnya, Bipolar 1 dan 2 lalu berujung ke Rapid Cycling.
Dalam satu tahun perasaan dalam jiwa bisa berubah-ubah empat kali berturut-turut bahkan lebih, dan seharusnya Torra dapat mengetahui hal tersebut ketika Theresa dengan keji mencelakai Inna hingga membuat calon buah hatinya tidak dapat diselamatkan, tapi tidak saat pria itu abai bahkan lalai menyadarinya.
"Mamaaa... Ini Vero, Ma. Mama mau makan apa? Vero jahat ya selama ini sama mama? Ayo dong bangun, Ma. Carla sama Kevin udah datang tuh jenggukin mama. Mas Torra juga ada lho. Maafin Vero ya, Maaa... Vero tidak nakal lagi, Ma. Janjiii..." Kini yang tersisa hanyalah harapan tak bisa lagi terwujud meski para keturunan berusaha untuk menyanggupinya, sebab batasan itu sudah berganti, seiring dengan kepergian malaikat pencabut nyawa setelah menyelesaikan tugasnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Tolong, Ceraikan Aku! [END]
RomanceMenikah itu tidak mudah. Menikah dimaksudkan agar hidup kedua pasangan menjadi teratur dan terarah dengan baik, tapi tak jarang sebuah pernikahan hanya berlandaskan coba-coba, karena harus bertanggung jawab akibat tak kuat menahan hawa nafsu, lalu t...