💐💐💐
Menjelang siang suhu tubuh Dito masih panas. Dengan telaten Isma mengganti kompres di dahi Dito, bahkan sesekali mengusap ketiak dengan air kompresan agar suhu tubuh suaminya segera normal.
Sebenarnya Isma pun belum tahu cara itu, namun Hanna -mertuanya- yang memberitahu dengan mengompres lekukan tubuh orang yang demam dapat membantu suhu tubuh cepat turun.
Isma pun memberikan Dito air kelapa muda yang dia minta pada Pakde-nya untuk memetikkan di belakang rumah, jaga-jaga agar suaminya tidak dehidrasi karena demam.
"Belum turun demamnya?" tanya Hanna yang berpas-pasan dengan Isma di depan pintu kamar hendak ke dapur mengganti air kompresan.
"Belum, Bu. Apa kita bawa ke Dokter saja, Bu!" kata Isma sambil menengok ke arah suaminya berbaring. Raut khawatir jelas terbaca di wajahnya.
"Nunggu sore dulu, ya! Ibu sudah telepon Dokter Dedy yang rumahnya di ujung gang untuk mampir nanti saat pulang dinas," ucap Hanna menenangkan sang menantu. Wanita setengah baya itu juga khawatir dengan keadaan anak semata wayangnya itu, namun dia tetap tenang. Usia yang mengajarkan agar lebih bijak menilai semua keadaan.
Hanna tersenyum dan menutup pintu kamar tidur putranya. "Nanti diberi obat sekalian, Bu?" tanya Isma yang sudah di apit lengannya oleh sang mertua menuju dapur.
"Nggak, cuma di prikso(periksa). Kalau keadaannya sudah mengkhawatirkan nanti pasti dia akan memberitahu kita untuk membawa Dito ke rumah sakit." Isma hanya mengangguk dan ber-o.
Bukan tanpa alasan Isma menanyakan hal demikian. Ketakutannya terhadap obat warung sangat besar, karena pernah di ceritakan oleh kedua orangtuanya bahwa Kakak kandungnya meninggal karena di beri obat dari warung biasa yang tanpa diketahui tanggal kadaluwarsanya. Bukannya membaik, keadaan Kakaknya justru kejang hingga akhirnya dilarikan ke rumah sakit namun sayang nyawa Kakaknya tidak tertolong karena terlambat mendapat penanganan Dokter dan obat yang tepat.
Isma kembali ke misi awalnya. Dia mengambil termos dan menuangkan air panas itu sedikit ke dalam baskom. "Terimakasih." Isma menghentikan menutup termos kembali dan meletakkan di tempat semula sebelum menoleh ke Ibu mertuanya.
"Terimakasih. Karena kau mau merawatku dan Dito." Netra Hanna berkaca-kaca, memandang haru sang menantu.
"Ibu sanjang nopo to? (Ibu bicara apa sih?). Itu sudah kewajiban saya, Bu. Saya anak Ibu dan istri Mas Radit." Isma mengajak Hanna untuk duduk di kursi meja makan. Isma mendudukkan sang mertua setelah menarik salah satu kursi. Menarik salah satu kursi, Isma ikut duduk di samping Ibunya.
"Ibu keluarga saya. Sudah kewajiban saya mengurus Ibu dan Mas Radit. Ibu adalah orang yang paling baik terhadap saya dan kedua orang tua saya. Mungkin ini tak seberapa? Saya hanya berharap di sisa usia bisa berbakti dan membalas semua kebaikan keluarga Ibu," kata Isma sambil menggenggam kedua tangan mertuanya yang ada di atas meja makan.
"Kamu tidak berhutang apapun pada Ibu dan keluarga ini, tapi setidaknya Ibu bisa tenang di masa tua ini. Ibu tidak salah memilihmu menjadi pendamping Dito. Ibu bisa tenang, sewaktu-waktu ibu pergi, ada kamu yang akan menjaga dan mengasihi Dito."
Deg!
Detakan jantung Isma tersentak lebih keras mendengar perkataan Hanna.
Rencananya setelah Dito sembuh, Isma akan memberitahukan keinginannya untuk berpisah dengan suaminya, namun melihat pernyataan Hanna Isma meragu. Sekali lagi, dia tidak akan sanggup melihat kekecewaan menghiasi wajah sang mertua.
"Ibu jangan bilang begitu. Ibu akan sehat selalu. Isma selalu menyematkan do'a agar Ibu panjang umur dan selalu bahagia." mata Isma ikut memanas menahan buliran yang ingin keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pebinor Bucin.(Sudah Tamat di Kbm-app)
RomanceNamaku Radito purnama. Aku bukan pengusaha apalagi casanova. Aku seorang Arsitek yang sudah hidup berkecukupan. Usiaku 27 tahun. Usia yang cukup matang untuk berkeluarga namun aku masih bahagia sendiri. Cita-citaku bukan menjadi Arsitek, tapi karena...