Cerpen

8 1 0
                                    

Matahari sedang berada dipucuk utara. Cuaca hari ini cukup panas. Ayah menepati janjinya untuk mengajakku pergi. Entah sudah berapa kali ayah menolak permintaanku untuk pergi bersama, kini dia baru menyempatkannya.

"Sharen," panggil Pak Hendra. Matanya sesekali melirik ke arah seorang gadis yang pantulannya terlihat dari kaca depan yang tergantung di mobil.

"Hmm." Aku yang duduk di jok belakang hanya menjawab dengan deheman sambil memalingkan wajah ke luar jendela mobil.

"Sharen masih marah sama ayah? Kan sekarang ayah udah ngajak Sharen ke pantai, masa Sharen tetap marah?" tanya Pak Hendra -ayah Sharen- dengan lembut.

Aku menarik napas lalu menghembuskannya. "Sharen gak suka ayah ngingkarin janji kayak kemarin." Jawabku pada akhirnya.

Bagaimanapun juga, aku tak mungkin tega berlarut-larut marah terhadap sosok yang telah membesarkanku seorang diri 8 tahun belakangan ini.

Ibuku telah meninggal saat umurku 8 tahun. Dan kini, aku hanya menjalani hidup berdua dengan ayahku karena aku anak tunggal.

"Iya, Sha. Ayah janji gak akan kayak gitu lagi, kok." Ujar ayahku sambil mengangkat jarinya membentuk huruf V.

"Hahaha Ayah ... Ayah, ada-ada aja," tawaku.

"Ayah senang, akhirnya bisa lihat Sharen ketawa lagi." Ucap ayahku sambil menolehkan kepalanya ke arah jok belakang tempatku duduk.

Tapi, siapa yang bisa menebak takdir Tuhan? Sebab setelah itu, dari arah depan muncul mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi.

"Ayah, awas!" teriakku panik.

"Ya Tuhan!" Teriak ayah sambil berusaha sekuat tenaga membanting setirnya ke sebelah kiri.

Menghindari mobil yang sudah sebentar lagi menghantam mobil kami dari arah depan. Namun, terlambat. Sebab mobil tersebut sudah lebih dahulu menabrak mobil kami sehingga menjadi sangat rusak di bagian depan.

Kulihat ayah yang duduk di kursi kemudi sudah terduduk lemas dengan keadaan kepala berada di atas setir. Sementara aku yang duduk di jok belakang hanya mengalami luka goresan.

Dengan air mata yang mulai membanjiri kelopak mata, aku merangkak mendekati ayah dan melihat cairan berwarna merah segar terus mengalir dari kepala ayah.

"Yah ... Ayah harus bertahan demi Sharen. Ayo, kita harus keluar dari mobil ini, Yah." Kataku lirih sambil berusaha melepas seatbelt yang entah mengapa jadi sangat sulit untuk dilepas.

Namun, tangan Ayah justru menahan tangan kecilku yang sedang kesulitan melepas seatbelt itu.

"Ti ... ting ... galin A ... yah di ... sini, Sha. Ka ... mu ... har ... us ... kelu ... ar, mobil in ... i pas ... ti mele ... dak," ucap ayah terbata-bata.

"Nggak, Yah! Kita harus sama-sama keluar! Sha gak mau kehilangan Ayah! Nggak, Yah! Sha sayang banget sama Ayah!" racauku dengan air mata yang terus mengalir tanpa henti.

"Sha ... ha ... rus nu ... rut. Kelu ... ar da ... ri sini, Sha," ayah masih tetap ngotot menyuruhku keluar.

"Nggak, Yah! Ayo, kita keluar sama-sama!" Ajakku sambil berusaha menarik satu tangan ayah.

Namun tiba-tiba saja dari arah luar mobil ada yang juga menarik tubuhku dengan begitu kuat hingga tanganku terlepas dari tangan ayah.

Aku seketika menjerit histeris sambil meronta-ronta, berusaha melepaskan diri dari pegangan 2 orang itu dan berusaha kembali berlari ke mobil untuk menarik ayah keluar dari sana. Namun yang terjadi sepersekian detik setelah aku baru saja ingin berlari ke sana benar-benar membuatku syok bukan main.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 26, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

OvaloTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang