13 | 2011

190 12 4
                                    

Bandung, Januari 2011

Dua tahun yang lalu, di sudut gudang sekolah yang sepi dengan seragam penuh tepung dan beberapa titik di badannya yang terasa nyeri, Razel meringkuk tanpa niat menyaksikan saudaranya tengah melawan dua orang yang menjadi sebab kondisinya menyedihkan.

Anak usia 13 tahun tersebut menunduk dan menuntup telinganya kuat-kuat sembari tersedu sedan tiada henti. Ia sakit, kecewa, dan takut. Kecewa karena pasti sesuatu yang selama ini saudaranya itu bingungkan terjawabkan. Sementara gemuruh takut di hatinya datang karena berpikiran jika saudaranya akan kenapa-kenapa.

Namun, Razel perlahan mendongak saat teriakan saudaranya terdengar.

"Awas lo semua! Gak bakal gue biarin lo berdua tenang mulai hari ini!"

Razel melihat Dito dan satu temannya berlari pergi, sementara saudaranya tengah memegang sebuah bangku rusak yang mungkin akan ia serangkan pada mereka jika masih bertahan.

Naro membanting kursi itu keras hingga hancur menjadi beberapa keping. Tubuhnya berbalik, menghampiri Razel yang sama sekali belum berpindah posisi. Anak itu menarik pergi saudaranya tanpa sepatah kata, lalu membawanya memasuki toilet siswa yang kebetulan tak ada satu pun orang di sana.

Di hadapan Razel saat ini, bukan sosok Naro yang agresif seperti beberapa detik yang lalu, melainkan kembali menjadi sosok saudara yang peduli dan perhatian. Tak bergerak banyak, dengan sorot sendu Razel hanya memandangi Naro yang kini merapalkan kata-kata kasar untuk Dito dan temannya sambil berusaha membersihkan tepung yang mengotori rambut saudaranya dengan air dari wastafel.

Setelah bersih, Naro memerintah Razel melepas kemeja seragam putihnya. Dan Razel melakukannya.

Naro turut melepas kemeja seragam, menyisakan kaos putihnya.

"Kalau aku pakai, kamu gimana?" tanya Razel bingung dan tak enak saat Naro menyodorkan seragamnya.

Namun, Naro tersenyum lebar yang terlihat dipaksa lantas meletakkan seragamnya di bahu sang adik sebelum kemudian keluar. Razel hendak mengejar, tetapi kata-kata yang keluar dari bibir Naro menghentikannya.

"Pakek aja. Gue tunggu lo di UKS."

Pada ujungnya Razel mendengarkan perintah Naro. Begitu mengganti seragam dan menaruh kemeja kotornya di loker, Razel segera menemui saudaranya di ruang kesehatan. Tiba di sana, Razel mendapati Naro tengah membalutkan plester di bawah lututnya. Hal yang membuat Razel langsung mempercepat langkah, merasa cemas.

"Cuma nggak sengaja kegores paku. Gak usah khawatir," tutur Naro dengan nada dongkol.

Walau begitu kecemasan Razel tak hilang. Hingga saat Naro selesai menutupi semua lukanya, anak 14 tahun itu tiba-tiba memegang tangan Razel, disusul dengan menatapnya tegas. "Duduk," pinta Naro dengan kode gerakan dagu, menunjuk sisa ruang di ranjang.

Sorot mata Naro kembali teduh dan sarat akan perhatian saat saudaranya telah duduk di sampingnya. Razel perlahan menunduk saat perasaannya mendadak tak enak.

"Tadi temen sekelas lo semua, kan? Jadi, itu alasan seragam lo sering kotor dan badan lo linu-linu?"

Razel diam seribu basa akan pertanyaan itu. Salah, tidak semua. Hanya salah satunya. Hanya Dito yang sekelas dengannya.

FOREVER RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang