Rumah Di Ujung Jalan

96 25 8
                                    

"Bu, aku mimpi aneh."

Pagi itu, aku memasuki dapur di rumah kontrakan yang baru beberapa minggu keluargaku tempati. Rumah kontrakan itu sederhana, dan dapurnya menyatu dengan ruang makan. Aku duduk di meja makan yang terletak persis di belakang ibuku, memperhatikan wanita itu memasak bekal. Aku sudah rapi mengenakan seragam putih, dasi, dan rok merah hendak ke sekolah. Aku kelas tiga sekarang. Ayah dan kakak laki-lakiku sudah berangkat duluan, jadi yang duduk di meja makan hanya aku sendiri.

Ibuku menggumam dari konter di dapur yang kecil itu, tanda bahwa dia mendengarku. Kedua tangannya sibuk mengaduk nasi goreng telur di wajan yang mendesis-desis dan menguarkan aroma sedap.

"Hm? Mimpi apa?"

Aku mengucek mataku, masih mengantuk. "Mimpi rumah lama kita."

"Oh?" Ibu meletakkan nasi goreng yang sudah matang ke dalam tempat bekal pink gambar Hello Kitty milikku, "Adek kangen ya tinggal di situ? Kan rumahnya cuma di ujung jalan. Kita cuma pindah jarak beberapa rumah. Masih keliatan malah dari sini. Kamu bisa ke situ kalo mau liat-liat."

Ya, rumah lama kami memang hanya dibatasi sebuah taman kanak-kanak dan empat rumah, letaknya persis di ujung jalan buntu. Rumah itu sangat luas, mungkin luasnya empat kali rumah kontrakan kami sekarang. Dan ada tingkat duanya. Tapi karena karena daerah ini sering terkena banjir, keluargaku memutuskan menjualnya dan cari rumah di daerah lain. Sementara menunggu rumah itu terjual, kami mengontrak di rumah kecil ini yang letaknya sedikit lebih tinggi, jadi air banjir tidak sampai masuk ke dalam.

"Di mimpiku, rumah lama kita kosong, Bu. Enggak ada satupun barang. Enggak ada orang. Enggak seperti yang aku inget." kataku separuh bengong, "Terus warnanya cuma hitam, abu-abu, dan putih."

Ibuku duduk di meja bersamaku sambil memasukkan tempat makanku ke dalam tas kecil, "Terus?"

"Tapi aku seneng. Aku kayak lagi main."

"Main?"

"Iya. Aku main, lari-lari keliling rumah sambil ketawa-tawa."

"Sama siapa?"

Aku hanya mengangkat bahu.

"Terus tiba-tiba aku pindah. Aku enggak di dalam rumah lagi. Aku tahu-tahu udah berdiri di depan rumah kontrakan ini, ngeliat lurus ke arah rumah lama itu."

Aku terdiam sejenak.

"Dan di depan rumah lama kita... ada anak kecil yang berdiri."

Kali ini, ibuku yang terdiam.

"Anak kecil?"

"Iya. Anak itu berdiri juga kayak aku. Ngeliatin aku dari jauh."

Ibu tidak berkomentar. Dia hanya menyimak ceritaku sambil mengecilkan volume televisi yang tengah menyiarkan berita pagi. Karena itu aku melanjutkan.

"Anak cewek. Kayaknya lebih kecil dari aku. Dia pake baju daster lengan buntung warna putih selutut. Terus rambutnya hitam, dipotong bob seleher, poninya lurus, kayak rambut berbi." aku menjelaskan dengan rinci.

"Kamu kenal siapa?"

"Enggak tahu. Poninya nutupin mata. Mukanya burem."

Ibuku hanya memandangiku selama beberapa saat.

"Dia berdiri aja di situ?"

Pandanganku menerawang, "Dia melambai-lambai manggil-manggil aku. Dia kayaknya... sedih."

Hening sejenak.

"Terus?"

"Udah. Aku kebangun."

Setelah itu, perhatianku teralih dengan tayangan kartun pagi yang baru mulai di televisi. Aku menyantap roti selai stroberiku sambil menonton, tidak memperhatikan bahwa wajah ibuku perlahan memucat akibat kesadaran yang baru diperolehnya.

Bertahun-tahun kemudian, setelah kami pindah dari rumah kontrakan kecil itu ke rumah baru kami, ketika kami sekeluarga tengah mengobrol di meja makan malam itu, entah bagaimana topik kami menyerempet cerita misteri.

Dan ibuku akhirnya menyinggung masalah mimpi anehku, bertahun-tahun yang lalu itu.

Ibu menceritakan bahwa dulu, ketika aku belum lahir dan keluargaku masih menempati rumah lama di ujung jalan itu, ibu dan ayahku mempekerjakan dua pembantu untuk mengurus rumah. Inem dan Ijah.

Pada saat itu, Ijah pernah jatuh sakit. Tubuhnya juga menggemuk drastis. Namun ketika ditanya, Ijah tidak pernah bilang sakitnya apa.

Kemudian suatu pagi, Inem mendatangi ibuku dengan raut ketakutan.

"Nyah..."

"Kenapa kamu?"

"Ijah, Nyah. P-Perutnya kempes..." Inem memberitahu ibuku dengan suara pelan, sedikit tergagap.

Ibuku keheranan, "Hah? Kempes gimana?"

"Perutnya, Nyah. Gemuknya bukan penyakit. Itu anak, Nyah...!"

Saat diberitahu itu, ibuku meloncat berdiri saking terkejutnya.

Rupanya, kegemukan dan alasan-alasan sakit itu adalah karena Ijah tengah hamil. Menurut kesaksian Inem, semalam Ijah ke kamar mandi belakang karena mengeluh sakit perut dan menyuruh Inem untuk mengambilkannya handuk serta ember.

Menurut Inem, dia sempat mendengar bunyi ngek yang berasal dari dalam kamar mandi selama Ijah berada di sana.

Menurut Inem, yang saat itu wajahnya sudah pucat pasi, bahwa buntalan handuk berisi entah-apa itu masih ada di dalam kamar mereka berdua.

Setelahnya, keluargaku memanggil Ijah. Dia diinterogasi. Sambil menangis sesenggukkan, dia mengakui bahwa kehamilan itu adalah hasil perbuatannya dirinya dengan pacarnya di kampung, dan mengemis-ngemis agar tidak dipolisikan.

Saat itu, keluargaku benar-benar terpukul dan jijik atas kejahatan yang telah diperbuatnya di dalam rumah kami, sehingga mereka menyuruh Ijah untuk angkat kaki hari itu juga, setelah menandatangani surat pernyataan yang menjelaskan dengan rinci bahwa kejahatan itu, kekejian itu, adalah atas kehendaknya sendiri dan tidak ada satu orang pun anggota keluargaku yang terlibat.

Ijah pun pergi. Membawa serta buntalan handuk yang tak seorangpun sanggup melihat isinya.

Saat ini, aku, yang syok karena pengetahuan baruku, merasakan luapan kemarahan dan kesedihan.

Marah, karena aku membenci dan mengutuk perbuatan kejam Ijah.

Sedih, karena ibuku berteori bahwa anak itu, anak yang tak pernah sempat merasakan kehangatan cahaya matahari itu, mungkin adalah anak yang sama dengan yang kutemui di mimpi anehku bertahun-tahun yang lalu.

Bahwa mungkin saja dulu, ketika kami sekeluarga pindah dari rumah lama di ujung gang itu ke kontrakan kecil kami, anak itu merasa kesepian.

Bahwa mungkin saja, anak berpotongan rambut bob itu mendatangiku di alam mimpi dan mengajakku bermain di dalam rumah di ujung jalan itu.

Bahwa mungkin saja, lambaian tangannya dan kesedihan yang kurasakan darinya saat dia berdiri di kejauhan memperhatikanku, adalah karena dia merindukan sosok teman pada diriku.

Saat ini, aku masih berkaca-kaca bila teringat anak itu.

Saat ini, aku mendoakan dengan tulus agar dia berada di tempat yang terbaik.

Agar dia dapat memiliki banyak teman, bermain, berbahagia, dan disayangi.

SELESAI

Rumah Di Ujung JalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang