Aku memberhentikan motorku persis di depan sebuah pikulan kayu yang menjajakan rujak buah.
Karena kata teman satu kantorku, rujak ini terkenal karena murahnya dan buahnya juga lumayan banyak untuk ukuran harga tiga ribu rupiah per porsinya.Masih ada 2 orang yang antri sebelumku. Aku pun turun dari motor dan berdiri tepat di sebelah kiri penjual rujak itu.
Pikulan rujaknya sederhana, hanya dengan dua buah etalase kayu yang di hubungkan dengan sebuah kayu panjang untuk menopangnya di bahu penjual itu.
Ku amati penjual itu, atau lebih tepatnya pak tua ,karena dari raut wajah dan badannya pun sudah memperlihatkan usia yang tak muda lagi. Dengan tambahan topi fedora hitam yang terlihat lusuh tapi tak meninggalkan kesan klasiknya. Menambah identiti si pemakainya, kalau sudah cukup berumur.
Aku melepaskan helm ku. Saat dua orang di depanku beranjak dari pak tua itu dengan membawa rujak di plastik hitam.
"Satu bungkus ya pak"
"Silakan ambil sendiri kuah pedasnya neng" ucap pak tua itu menunjuk ke arah tempat toples berisi sejenis sambal tapi lebih ke kuah cabe. Aku menyendok 3 sendok kuah cabe ke piring yang disediakan di situ.
Aku beralih ke pak tua tadi. Beliau memotong perlahan buah di atas sebuah piring plastik.
"Udah lama pak jualan rujaknya?"aku memulai obrolan dengan beliau.
"Udah neng, hampir 15 tahunan" ucap pak tua itu sambil memotong buah-buah yang terbilang murah dan mudah di dapat, seperti pepaya, nanas, timun.
"Lama juga ya pak" sahutku lagi
Pak tua itu hanya mengangguk di balik wajahnya yang tua.
Selama itu pak tua hanya berjualan begini. Sampai setua gini. Apa anaknya ngga ada ya, hingga masih berjualan begini. Aku menerka-nerka tak jelas.
"Bapak bersyukur neng, masih diberi kesehatan, masih bisa mencari rejeki halal. Hidup itu intinya bersyukur. Maka dicukupkan nikmat apa saja. Bukan terbatas nikmat rejeki. Tapi semua. Badan, alam sekitar. Tinggal kita cari bekal untuk masa depan sebenarnya. Bukan begitu ya neng" pak tua itu berkata panjang lebar seakan beliau tau isi dalam pikiranku.
Aku mengangguk tanda setuju.
"Ini neng, rujaknya. 5000 rupiah" pak tua itu menyerahkan sebungkus rujak padaku sambil tersenyum lepas di balik raut senjanya.
"Ambil aja pak kembaliannya" ucapku menyerahkan uang 10000 satu kepada beliau.
"Ngga usah, cukup 5000 saja" pak tua itu membuka tempat uangnya dan mengembalikan sisanya.
"Atau anggap aja, saya membelikan ibu ini ya pak" ucpaku pada ibu yang sudah mengantri setelah ku.
Ibu itu tersenyum dan mengucapkan terimakasih padaku.
"Terimakasih pak" aku beranjak pulang dengan perasaan menusuk jiwa rasa bersyukur ku.
Dari pak tua tadi, aku mendapatkan pelajaran kalau hidup itu sederhana. Mensyukuri nikmat dari Tuhan, maka nikmat yang lain akan silih datang.
Hingga kita tiba saatnya menghadap Tuhan dengan segala 'bekal' yang kita cari selama di dunia.🍃🍃🍃
RD281020 2.07 BPP
🏵️🏵️🏵️
*Kisah ini pernah aku publikasi kan di sebuah komunitas yang di naungi oleh salah satu penulis terkenal di Indonesia Asma Nadia, komunitas bisa menulis(kebetulan yang membuat juga oleh suami beliau pak Isa Alamsyah yang juga penulis). Hanya sebatas sebuah karya yang di kritisi.
Karena jauh sebelum aktif di wattpad dan Twitter, aku bergabung di komunitas itu untuk mengasah hobi menulis ku😊😊.
Dengan sedikit perubahan tapi tidak mengurangi esensi dari ceritanya 🤗🤗.
Oh iya fyi, tokoh pak tua di cerita ini memang ada orangnya. Dan juga memang sebagai penjual rujak.
Masih berjualan ditempat yang sama semenjak aku masih kerja dulu sekitar tahun 2009 pertengahan.
🤗🤗🤗.Semoga dengan membacanya kalian terhibur dan membawa manfaat bagi kita semua🤗🤗.
Terimakasih...
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Senja
Historia CortaAkhir dari hari di tandai dengan senja. Datangnya senja berarti waktu malam akan masuk. Begitu pun dengan usia. Usia semakin hari semakin senja. Tapi usia yang senja mempunyai makna hidup yang begitu berkesan untuk para pendengarnya. Nikmatilah senj...