16

35 2 0
                                    

Kikan terdiam menatap Donghan.

"Lo nungguin Yohan?"

Kikan tidak langsung menjawab, tapi kemudian dia mengangguk. "Iya."

Donghan menggaruk tengkuknya, dia agak ragu mengatakan ini. "Boleh gue duduk di situ?"

Kikan melirik pada kursi meja rias di sebelah kanannya lalu beralih pada Donghan lagi. "Terserah lo."

Donghan tersenyum lalu mulai berjalan dan dua detik kemudian dia sudah duduk di depan Kikan. Tidak persis di depan, sedikit di kanan Kikan seperti posisi kursi itu tadi. Suasana canggung segera menyelimuti mereka.

"Padahal baru kemaren kita ketemu, hari ini ketemu lagi," Donghan membuka pembicaraan.

Kikan hanya merespon dengan senyuman seadanya. Sebenarnya dia ingin sekali pergi dari sini. Dia sebenarnya tidak menginginkan situasi seperti ini terlalu sering, situasi dimana hanya ada dia dan Donghan di sebuah ruangan. Situasi dimana lo, sedang hamil anak dari orang yang mencampakkan lo, dan orang itu sedang berusaha sok akrab lagi sama lo. Pertemuan dengan Donghan sebelum ini selalu di tempat ramai, atau seperti kemarin, ada Yohan.

Terakhir dia bersama Donghan di sebuah ruangan adalah saat mengurusi Donghan di rumahnya ketika Mamanya meninggal. Itupun sedang ramai, ada Donghyun juga. Paling waktu itu yang benar-benar berdua ketika menunggui Donghan tertidur. Selebihnya tidak ada lagi. Pertemuan di rumah sakit saat Mama Donghan dirawat saja, berakhir dengan kesalahpahamannya dengan Yohan.

Maka dari itu, Kikan benar-benar ingin mengurangi intensitas berinteraksi dengan Donghan yang hanya berdua seperti ini. Dia tidak mau ada salah paham lagi. Dia pusing. Dia akan segera melahirkan jadi dia tidak mau membebani pikirannya lebih banyak. Setelah apa yang Donghan lakukan pada Kikan, seharusnya dia menjauhi pria ini. Tapi karena teringat tentang Mama Donghan, Kikan berusaha untuk melunakkan hatinya. Entah Kikan yang terlalu baik, atau terlalu bodoh.

"Yohan.. kemana?" Donghan masih terus berusaha mencairkan suasana.

"Tadi katanya mau ke toilet."

Donghan mengangguk-angguk. Suasana kembali menjadi canggung lagi. Donghan lalu melirik pada perut Kikan.

"Kemarin gak begitu keliatan sama gue."

Kikan mengangkat kepalanya, menatap Donghan. Bingung. Apanya yang gak keliatan?

Donghan membalas tatapan Kikan. "Perut lo."

Kikan kaget. Sesegera mungkin dia memperbaiki posisi duduknya lalu menutup perutnya dengan cardigan panjang yang dia pakai.

"Berarti bentar lagi lo lahiran ya?" tanya Donghan lagi. Tapi Kikan masih tetap diam. Tidak memberikan respon apapun. "Lo sama Yohan gimana kalo lo udah lahiran?"

Kikan kesal sekali mendengar pertanyaan Donghan ini. "Lo ini kenapa?"

"Gue cuma pengen tahu aja."

Kikan menghela nafas. "Pertama, lo gak berhak nanyain privacy gue. Dan kedua, gue berhak untuk gak jawab pertanyaan lo."

Donghan mengangguk-angguk. "Benar."

"Tolong jangan salah paham dengan sikap gue ke lo. Gue berusaha baik lagi ke lo karena ingat sama Mama lo. Gak ada alasan lain."

"Maaf," kata Donghan kemudian. "Gue minta maaf."

Kikan terdiam sebelum merespon. "Kalo lo berharap gue akan bilang gue udah maafin lo, gue udah lupain semuanya, lo salah besar. Lo hancurin hidup gue, Donghan." Kikan menghela nafas, tiba-tiba dia merasa sesak. "Gue gak akan pernah lupain apa yang pernah lo lakuin ke gue. Gue gak akan semudah itu memberi maaf sama orang yang hancurin hidup gue." Kikan menghela nafas sekali lagi. "Kalo ada yang perlu gue syukuri dari semua kejadian ini, Yohan. Pertemuan dengan Yohan adalah satu-satunya yang gue syukuri. Gue bersyukur dijodohin sama dia. Bukan karena dia bisa bantuin gue untuk nutupin keadaan gue. Daripada itu, gue lebih berterima kasih karena orang yang dipilih Tuhan untuk bantuin gue adalah dia. Orang sebaik dia. Tuhan bisa aja milih orang lain. Tapi Dia lebih memilih Yohan untuk bantuin gue."

To Reach YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang