Bab 3B

107 13 0
                                    

Bu Mamik sudah pulang tanpa menengok Gina ketika akhirnya Hadi masuk ke ruang perawatan.

"Sudah baikan?" Meski pertanyaan Hadi begitu lembut, tapi Gina tak tahu harus menjawab apa. Hatinya masih sakit. Bahkan dia belum mau melihat anaknya lagi.

"Aku minta suster antar Larasati ke sini, ya? bukankah kamu harus menyusui?"

Betapa pun Gina keras kepala, dia tetap tunduk pada Hadi. Dia begitu mencintai pria tampan dan mapan itu. Akhirnya Gina mengangguk pasrah. Wanita itu berusaha menguatkan mentalnya agar bisa melihat wajah Larasati dengan normal.

Hadi tampak tersenyum penuh kesabaran dan duduk di samping Gina dan membelai punggung istrinya penuh kasih. Setelah Gina terlihat tenang, Hadi pun menekan tombol pemanggil dan meminta perawat membawakan bayi mereka.

Suara keranjang yang didorong terdengar di selasar rumah sakit. Ketika pintu terbuka, Gina terlonjak sedikit dari tempatnya duduk. Jemarinya meremas tangan Hadi kuat-kuat. Mencari pegangan. Berharap suaminya mampu memberi kekuatan.

Perawat menyibak tirai penutup dengan lembut dan menyeret keranjang bayi mendekat. Gina menutup mata. Ternyata keberaniannya tak sampai untuk bisa langsung melihat Larasati. Napasnya memburu berusaha menampung semua keberanian yang tercecer berantakan.

Hadi membantu tangan Gina untuk menekuk dan menyangga Larasati yang diserahkan ke dalam dekapannya.

Dengan perlahan, bulu mata lentiknya bergerak2 seolah berusaha membuka meski berat hati. Gina menahan napas dan seketika itu juga matanya terbuka.

Di dalam pelukannya, ada sesosok bayi yang memiliki lubang menganga di bagian bibir atasnya. Terlihat gelap dan mengerikan. Berceruk, berkerut, seperti monster yang mengerikan di benak Gina. Saat itu juga, Gina merasakan pandangannya menggelap.

***

Sejak itu, Gina berjuang sekuat tenaga untuk tidak terlalu melihat ke arah bibir Larasati. Dia tidak ingin pingsan hanya karena melihat wajah anaknya sendiri. Matanya! Tatap matanya saja. Namun, saat itu dia menyadari sesuatu.

"Mata kiri Laras kenapa, Kang?" Gina mengamat-amati keduanya bergantian. Tidak seimbang. Meski Laras jarang membuka mata, tapi keanehan ini tetap terasa mencolok.

Hadi menarik napas. Dia tak mungkin terus menyembunyikan ini dari Gina. "Laras juga terkena ptosis. Kelopak matanya turun. Dokter anak bilang, kemungkinan matanya yang sebelah kiri tidak bisa berfungsi normal."

Lagi-lagi pandangan Gina terasa gelap.

***

Beberapa hari berlalu dengan Gina yang pingsan berulang kali. Namun, bukankah sifat manusia adalah pandai beradaptasi? Lama kelamaan, Gina pun demikian. Dia tidak lagi pingsan jika memandang Laras. Sedikit demi sekdikit, wanita itu sudah mulai menerima keadaannya.

Mau protes bagaimanapun pada Tuhan, Laras adalah anaknya. Dialah yang telah mengandung sembilan bulan hingga susah payah melahirkannya. Dia jugalah yang bersalah tidak memeriksakannya dengan USG lebih cepat. Setidaknya, dia memiliki lebih banyak waktu untuk bersiap diri.

Gina tersenyum tipis. Dia sudah memperoleh suami sepurna. Jika Tuhan memberinya cobaan anak yang buruk rupa, dia akan berusaha menerimanya. mungkin ini juga teguran dari Tuhan karena dirinya tidak pernah beribadah kepada-Nya.

Pada hari ke tujuh, akhirnya acara Akekah pun dimulai. Bu Mamik mempersiapkan pestanya dengan sangat meriah. Laras diletakkan dalam keranjang bayi di bagian belakang ruang keluarga yang ditutupi kelambu. Orang-orang yang datang, dilarang mendekat. Mereka hanya berkumpul dan duduk beralaskan karpet di garasi dan ruang tamu yang sudah dikosongkan dari aneka perabot besar.

Bisik-bisik semakin santer ketika Bu Mamik terang-terangan melarang tamu undangan melihat Laras. Semakin dilarang, tentu rasa penasaran akan semakin membumbung tinggi. Terlebih sikap Gina yang hanya menunduk sepanjang acara.

Wanita berambut sebahu itu kali ini mengenakan kerudung putih tipis yang ujungnya disampirkan memutari leher. Pandangannya kosong dan terus menunduk. Baju kebaya brukat putih yang dikenakan dipadukan kain batik kecokelatan sebenarnya membuatya semakin terlihat memesona. Namun, tidak ada keceriaan di sana.

Sementara Hadi berbeda. Pria itu terlihat ramah menyambut para tamu. Kala mereka sibuk menikmati hidangan, Hadi kembali duduk menemani Gina dan menggenggam tangannya erat. Seolah dia tidak akan membiarkan Gina berjuang sendirian

Tiba-tiba Bu Euis salah satu pentolan kampung berdiri dan bergerak ke arah kasur Laras. "Bayi kok disembunyikan. Nggak asik, atuh! Kita-kita kan juga mau lihat."

Bu Mamik bahkan tak sempat mencegah Bu Euis menyingkap kain kelambu putih susu yang melingkupi tubuh Laras.

Suara istighfar yang terdemgar keras diikuti jeritan melengking. "Naudzubillah min dzalik, astagfirullah! Kenapa itu bibirnya teu aya?" Bu Euis yang mengenakan jilbab pendek yang diikat ke belakang leher mundur ke belakang.

Melihat ekspresi yang luar biasa heboh, mau tak mau membuat semua tamu ikut penasaran. Kali ini mereka merangsek maju untuk melihat apa yang sebenarnya disembunyikan di balik kelambu.

"Ih, mukanya jelek banget!"

"Enggak kayak manusia!"

"Bayi setan?"

Dengung ajaib mulai terdengar.

"Bapak ibu, tolong jangan berkata ngawur tentang anak kami!" Hadi tiba-tiba berdiri. Matanya nanar ke arah para tamu. Dia memang masih tidak bisa mencintai Larasati sebagaimana seorang ayah pada anaknya. Namun, melihat anaknya diperlakukan begini kasar juga membuat darahnya mendidih.

Apa ini karena Larasati dihina? Tidak. Ini rasa malu karena orang akhirnya tahu aib keluarganya. Dia menyesali keputusan ibunya untuk tetap mengadakan akekah yang seharusnya bisa dicegah.

"Kalau memang bukan anak setan lalu apa? Wajah kok bisa serem banget kayak gitu!" Bu Euis menggidik.

"Ini hanya kesalahan genetik biasa. Nanti bisa disembuhkan dengan operasi." Bu Mamik berusaha mencairkan suasana.

"Genetik? keturunan maksudnya?" Bu euis masih terlihat meremehkan dan memandang ke arah Ginaa.

"Operasinya memang tidak akan murah. Bahkan bagi kami." Hadi berterus terang di hadapan orang-orang itu. "Akan tetapi, saya akan berjuang lebih keras agar bisa mencukupi biaya operasi itu." Ya, begini akan lebih baik. Citra, keluarganya sebagai orang terpandang akan kembali jika wajah Laras sudah normal.

Bu Euis kembali bergidik seolah hal yang baru saja dilihatnya adalah sebuah kengerian tak tertahankan setiap kali melintas dalam ingatannya.

"Jangan-jangan, itu bukan karena keturunan. Tapi bayi itu adalah tumbal pelet dan kecantikan istrimu!"

Seketika itu juga telingaGina seperti berdenging menyakitkan.

Jangan Ada Lara (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang