PART 58

1.4K 240 65
                                    

INNA POV

Aku mencintai suamiku. Walaupun dia pernah berbuat satu kesalahan besar dan almarhumah ibunya pun demikian, tapi tak bisa kupungkiri bahwa kini keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat.

Saat ini, aku mengandung dua janin hasil dari buah cinta kami. Aku berharap Tuhan memberiku sepasang anak yang lucu agar jangan ada lagi kehamilan berikutnya di dalam hidupku.

Egois? Ya, ku akui itulah harapanku ke depannya, sebab sudah pasti akan sangat merepotkan saat mengurusi si kembar dengan kondisi kehamilan yang rentan. Ada ibu dan bisa menyewa tenaga seorang babysitter, tetapi aku ingin merawat kedua bayiku sendiri, ikut merasakan seperti wanita-wanita lain di luaran sana.

Ceklek

Suara pintu terdengar di sela doa-doaku yang baru selesai terjadi dalam sholat Isya ini, membuatku mencoba menurunkan ego dan menyapa mas Torra lebih dulu, "Sudah badah Isya, Mas?"

"Sudah, Yang. Sekalian sama Mahgrib tadi di Masjid depan. Nggak enak sama pak Dahlan yang ngajakin ngobrol soal pembangunan pagar gitu, jadi ya sekalian aja deh lanjut empat rakaat pas udah adzan," Dan aku bersyukur atas penjelasan mas Torra, karena dengan begitu berarti dia tidak marah lagi padaku.

Sajadah dan mukena yang sudah rapi terlipat, kembali kuletakkan ke tempatnya semula, berniat untuk naik ke atas tempat tidur, "Udah makan belum, Yang? Mas bawain bakso ikan sama sop buah pakai alpukat tuh. Cuma harus dipanasin lagi kayaknya deh. Soalnya tadi kelamaan di masjid kan."

"Ya udah, ayo makan lagi. Biar dedek-dedeknya tambah sehat di dalam." Namun, suara mas Torra lebih dulu terdengar daripada langkah kakiku yang menggapai ke atas ranjang, memberitahukan tentang makanan kesukaanku dan aku segera menanggapinya.

Langkahku pun melebar menuju ke arah pintu kamar, "Mas! Mau ap--"

"Ssttt... Nggak boleh jalan, Yang. Biar mas aja yang gendong."

Oh, Esmeralda! Kau tahu apa? Sepertinya pipiku sudah memerah seperti tomat busuk akibat perlakuannya saat itu, terasa panas dan aku meyakininya begitu.

"Kenapa, sih, Yang? Kok malah nyungsep di ketek mas gini? Mas kan belum mandi ini." Aku bahkan tanpa tahu malu melakukan kebodohan yang hakiki, hingga membuatnya menegur serta menertawakanku.

Cup

"Masya Allahhh... Rejeki yang tidak terduga ini mah! Lagi dong, Yang. Masa cuma satu kali aja ciumnya? Pipi kirinya belum." Jadi kubiarkan saja dia mendapatkan yang lebih dariku, satu ciuman spontan sebagai bagian dari permintaan maafku padanya.

Sayangnya yang mas Torra lakukan adalah sebaliknya, terus menggodaku dengan meminta kecupan lebih, "Dasar serakah! Dikasih satu mau dua! Turunin aku di sini aja deh, Mas."

"Enak aja. Jangan dong. Dua meter lagi udah sampai masa turun, sih. Kalau sayang pelit dan nggak mau kasih double kiss, biar mas aja deh yang ngasih." Berpura-pura merajuk, ternyata oh ternyata kali ini mas Torra benar-benar menang dan berhasil mencuri start lebih dahulu.

Cup

Suami tercintaku itu mendaratkan bibirnya tepat di bibirku, bahkan ia dengan seenaknya menjulurkan lidah, memaksaku untuk membuka mulutku.

Tak urung suara repetanku pun menggema ke seantero lorong kecil mwnuju ke arah dapur bersih di dalam rumah keluarga besar Torra Mahardika ini, "Mas Torraaa...!"

"Hahaha... Maaf, Yang. Kebelet. Nyicip dikit nggak apa kan? Halal ini." Tetapi lagi-lagi mas Torra berhasil membuat kekesalanku mencair, terkekeh keras atas bahasa yang dia keluarkan dari bibirnya.

Sekitar dua puluh detik kemudian, sampailah kami di dapur bersih dan mas Torra pun sudah mendudukkan aku di atas tempat kursi besi, menyuruhku untuk menunggu sebentar.

"Biar aku aja yang panasin baksonya, Mas!" Namun, naluriku dengan cepat menyeruak keluar, bersama kedua kaki yang menjulur ke lantai kembali.

"Nggak usah, Sayang. Jalan aja aku gendong biar aman kok malah panasin makanan nyuruh kamu, sih? Kasihan anak-anak kita nanti kan? Duduk aja di sini biar mas yang ambil microwave di sana ya?" Hmmm... Seperti biasa, mas Torra jelas nggak akan membiarkan aku buat kerjain itu semua.

Dia dengan cekatan melakukan semuanya di depan mataku, memupuk ratusan rasa syukur yang sudah kumiliki tentangnya kian bertambah, dan entah mengapa aku tanpa ragu mengeluarkan bahasa itu di depannya, "Mas, besok aku ikut ke pelantikannya boleh?"

Bola mata mas Torra membesar dan pergerakan tangannya yang menuangkan bakso ikan ke dalam mangkuk pun terhenti, "Hah? Tapi, Yang--"

"--Mas bilang aku cuma duduk di atas kursi aja kan tadi itu? Berdiri pas mau difoto dan boleh bawa kursi roda juga kan? Kupikir kalau cuma begitu-begitu aja bisalah, Mas. Bawa ibu juga sekalian biar makin aman. Mau ya, Mas?" Ada kalimat ragu-ragu yang mas Torra coba utarakan, tapi aku dengan tidak tahu malu memotong ucapannya.

Ya, aku menjelaskan sekaligus merengek seperti anak kecil, padahal beberapa jam lalu diriku sendirilah yang menolak untuk ikut ke acara gladi resik dan juga mengancam mas Torra.

Kini ludah itu dengan cepat kujilat kembali, tanpa ragu, tapi mas Torra hanya diam sambil meneruskan aktivitasnya.

Menyodorkan mangkuk berserta isinya yang hangat padaku, ternyata sejuta penjelasan mas Torra berikan juga di sana, "Makan yang banyak, Cantiknya mas. Biar sehat selalu dan bisa jagain anak-anak kita sekaligus melindunginya ya? Untuk urusan pelantikan, pak Ketua sudah ngasih izin khusus untuk sayang, jadi biar nanti pas acara mas hidupin live dari facebook supaya bisa lihat okey? Kayak pas dokter sialan itu nikahin si La-- Ya gitu deh. Mau kan?"


"Nggak mau! Enak aja! Kan tadi kamu yang minta, Mas! Kok sekarang malah ngelarang, sih? Malas makan ah! Biar aja sakit." Tentu saja rasa kesal itu datang secepat embusan angin yang pernah hadir membawa luka dalam diriku atas perbuatan mas Torra, tapi kali ini kasusnya berbeda jauh.

Kudorong mangkuk yang memperlihatkan banyak bulatan pentol berbahan dasar ikan kian jauh ke tengah meja makan, dengan harapan agar aksi tersebut akan segera ditanggapi oleh mas Torra.

Alih-alih membujukku saat itu juga, nyatanya yang terjadi adalah berbanding terbalik dengan semua perkiraan di isi kepala, karena mas Torra malah menyibukkan diri untuk terus mencicipi isi di dalam mangkuk tersebut, "Beneran nih nggak mau makan, Sayang? Ini bakso ikan lho. Belinya di tempat langganan yang kamu bilang paling enak itu kok. Coba ya mas cicipin duluan. Kayaknya memang beneran sedap deh. Um.. Ummm... Ummm...!"

Satu, dua, tiga... tujuh sampai-sampai yang kulihat kini hanyalah tersisa tiga buah saja di dalam mangkuk, "Mas Torraaa...!"

BRAK!

"Ukhuk ukhuk ukhukkk...!" Dan saat itulah aku tanpa ragu berteriak kesal, menggebrak meja dengan tanganku, membuat mas Torra terbatuk-batuk.

"Mas itu memang egois! Egois egois egois! Tadi bilang A sekarang bilang Z! Malas makan! Mau tidur aja!" Lalu yang tersisa, tentu saja omelanku membumbung tinggi ke udara, "Dasar mas Torra tukang bohong! Awas dia nanti ya! Biarin tidur di luar aja!" Dan langkah pun kuseret sesegera mungkin menuju ke kamar tidur kami, mengunci pintunya agar hanya aku sendiri saja yang berada di dalam kamar.

***

BERSAMBUNG

Tolong, Ceraikan Aku! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang