Delapan Belas

922 116 4
                                    

Entah siapa yang mengawali, Miranda dan James mulai sering berkirim pesan. Diawali dengan menanyakan cuaca, lalu berakhir dengan saling ejek. Nayla berpesan, “Hati-hati, Say. Could it be love? Could it be love? Could it be love?” Tentu saja pesan dari Nayla berupa pesan suara. Catat, ya, suara Nayla itu wow to the down. Sumbang bukan main. Alhasil kembang kebahagian dalam diri Miranda hampir layu andai saja James tidak mengirim pesan.

Boleh mampir?

Miranda bisa saja menolak, tetapi jarinya telah mengetik balasan:

Oke.

***

James mengikuti arahan Ben: Membawa makanan dan buku, alias sogokan. Walaupun James dan Miranda lumayan dekat akhir-akhir ini, tetapi itu tidak berarti dia bisa bertamu tanpa izin terlebih dahulu. No, nggak semua orang suka ditemui tamu secara mendadak. Lebih baik dia bertanya dulu daripada malu kemudian. Bisa saja Miranda ternyata berencana melakukan makan malam romantis dengan seseorang. Aduh, memikirkan Miranda kemungkinan dekat dengan cowok lain membuat James panas dingin. Meriang. Jenis masuk angin yang nggak bisa sembuh walau dikerok bolak-balik.

Oke, James. Kamu nggak boleh mikir Miranda punya cowok. Kalaupun ada, doakan saja mereka nggak berjodoh sehingga kamu bisa nikung. Beres.

Di depan pintu, James memencet bel sembari berharap hadiah yang ia bawa memenuhi standar kepatutan Miranda. Kepuasaan James ialah saat hadiahnya bisa diterima seseorang dengan sepenuh hati (walaupun sekadar basa-basi di permukaan saja). Begini, ya. Saat kamu mempersiapkan hadiah khusus dan ditanggapi dingin oleh seseorang-yang-kamu-harap-senang itu sakitnya bukan main. Waduh, James berharap Miranda minimal mau pura-pura senang. Setidaknya James tidak terlalu sakit hati nanti.

“Hai,” sapa Miranda setelah membuka pintu dan mempersilakan James masuk.

“Semoga kamu nggak keberatan, ya?”

James menyerahkan kotak kue cokelat beserta novel kepada Miranda. Sebagai lelaki yang baik, dia membantu Miranda menutup pintu dan menguncinya. (Siapa tahu ada maling sialan yang memilih beraksi di saat James ingin melakukan pendekatan. Lebih baik mencegah daripada mengobati.)

Tentu saja Miranda tidak langsung membuka bungkusan kado yang berisi novel. Dia mengarahkan James ke dapur, meminta cowok itu duduk. Cekatan Miranda meletakkan kue ke piring dan membaginya sebanyak dua potongan ukuran sedang untuk dirinya dan James. Setelah yakin keduanya berada dalam posisi nyaman, barulah Miranda membuka kertas pembukus dan berkata, “Virgin Suicide? James, kamu kok bisa?”

Yes, Miranda sepertinya senang. “Aku cuma pengin ngasih sesuatu yang beda.”

Salah satu alis Miranda terangkat, ekspresi yang amat imut di mata James. “Tahu, enggak. Baru kamu orang pertama di dunia ini yang enggak keberatan baca novel dark.”

“Asal bukan film, aku oke.”

“Dih waktu nonton Perempuan Tanah Jahanam nyalinya ciut.”

James bersidekap, tidak terima. “Mana bisa aku nonton dalang bikin wayang dari kulit manusia? Ngeri.”

“Bukannya buku yang kamu kasih ke aku ini terbilang gelap, ya?”

“Beda,” James membalas. “Dalam novel aku belajar empati. Bahkan cerita tergelap pun sebenarnya memiliki nilai tersendiri. Misal, kamu bisa bayangin bagaimana bila ada yang benar-benar peduli kepada keluarga Lisbon? Mungkin Lux dan saudarinya nggak sampai punya pikiran mengakhiri hidup. Masalahnya ialah, manusia cenderung berpikiran egosentris. ‘Kalau aku belum bahagia, buat apa mikirin orang lain.’? Padahal empati merupakan unsur terpenting yang wajib dimiliki manusia. Aku yakin bila banyak orang memiliki empati, maka kejahatan di dunia ini akan berkurang.”

Miranda mengangguk, tertarik. “Masalahnya,” katanya sembari mengambil garpu. “Dulu pernah ada seseorang yang ngomong gini ke aku. Kamu pernah dengar istilah ‘kalau kamu belum bisa bahagia, maka kamu tidak akan bisa membahagiakan orang lain’?”

“Oh jadi dia menganggap kalau ada seseorang yang berusaha membahagiakan orang lain, tetapi dirinya sendiri belum bahagia maka orang yang dibahagiakan itu tidak akan senang? Begitu?”

“Tepat sekali.” Miranda memotong kue dan memasukkannya ke mulut. Setelah mengunyah dan menelan kue tersebut, barulah ia melanjutkan: “Padahal nggak semua orang bisa bahagia hanya dengan ‘berniat bahagia’.”

Idem,” sahut James. “Ada jenis manusia yang hanya bisa bahagia kalau usaha mereka dihargai orang lain. Entah itu perhatian kecil semisal ucapan selamat, entah itu kado, bahkan kiriman doa. Intinya saat ada seseorang berbuat baik, minimal kita perlihatkan rasa senang kita kepada mereka barulah kebahagiaan datang.”

“Sayangnya orang semacam itu jumlahnya sedikit,” kata Miranda. “Kalaupun ada pasti mereka jenis manusia yang sensitif dan mudah menyerap emosi orang lain.”

“Pasti lelah, ya?”

Miranda menggangguk. “Jangankan mereka, aku pun kadang merasa diriku penuh dan kosong sekaligus. Seolah-olah ada sesuatu yang perlu ditumpahkan biar lega.”

Sesaat James menangkap kesepian dalam ucapan Miranda. Dia ingin berkata, “Aku ada di sini. Kamu bisa ngomong semuanya.” Namun, sebaiknya dia tidak melewati batas kenyamanan milik Miranda. Suatu saat bila Miranda menganggap James sebagai “orang terpenting” dalam hidupnya, maka cewek itu akan mengatakannya. Right now, James harus berpuas dengan kondisi hubungan di antara mereka.

“Eh kok jadi melankolis gini, ya,” kata Miranda. Dia mengetuk cover novel. “Sebenarnya aku pernah baca ini lho. Sekali.”

Kini James menyingkirkan piring kue, fokus kepada Miranda sembari berharap perasaannya jangan sampai bertepuk sebelah tangan. Bisa-bisa dia merasa sebagai lelaki paling malang seantero bumi sampai Pluto. “Temanku nggak ada yang suka cerita modelan gini.”

Forever Monday juga begitu. Padahal aku berharap mereka berdua bisa bersatu. Namun, wow. Akhirnya tidak menyenangkan.”

“Bapak si cowok yang keterlaluan. Seharusnya dia bisa mengharagai putra dan putrinya tanpa menuntut apa pun dari mereka,” cetus James, kesal. “Kadang aku merasa kalau kebanyakan orang menggampangkan pernikahan dan anak merupakan investasi terbesar bagi mereka. Semua bisa punya anak, tetapi nggak semua orang bisa menjadi orangtua yang baik.”

Again! James menangkap guratan mendung di air muka Miranda. Demi bintang kejora di langit, betapa James ingin menghibur Miranda dan membiarkan cewek itu bahagia bersamanya.

“Mungkin mereka, para orangtua, jarang yang menghargai pendapat anaknya,” Miranda menyimpulkan. “Pasti beruntung banget anak yang punya ibu dan ayah yang pengertian. Nggak asal ngelarang tanpa ngejelasin alasan “itu dilarang”. Mau menjadi pendengar dan tidak memosisikan diri selalu benar.”

“Orangtuaku kadang rewel masalah pernikahan.” James tiba-tiba teringat Felix dan Mama. Keduanya merupakan rekan seperjuangan dalam mendeklamasikan jodoh bagi James. “Tapi, mereka selalu ada saat aku butuh. Kadang ngomel, tetapi nggak pernah merasa menang sendiri. Rumit.”

Seulas senyum tersungging di bibir Miranda. Saat itu James merasa pengin maraton saking gembira melihat tatapan Miranda. “Sepertinya menyenangkan.”

“Gimana kalau kamu ketemu orangtuaku?”

“Hah? Buat apaan?”

“Melengkapi lowongan calon keluarga yang baru.”

***
Selesai ditulis pada 4 Januari 2021.

***
Halo, apa kabar? Semoga kalian selalu dalam keadaan sehat. Maaf saya terlalu lama mengabaikan naskah yang satu ini. Hehe.

Terima kasih saya ucapkan kepada teman-teman atas vote, komentar, penyemangat, dan memasukkan With You ke dalam perpustakaan. Pokoknya terima kasih sebanyak-banyaknya kepada kalian. Hehehe.

Salam hangat,

G.C

P.S: Tolong hati-hati dan jaga kesehatan, ya. Pakai masker saat ke luar rumah. Cuci tangan, makan makanan yang sehat, kalau perlu konsumsi vitamin dan mineral. Oh ya, hati-hati pas bawa ponsel dan dompet. Pokoknya hati-hati, rawan jambret dan begal.

With You... (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang