4. Celana

22 1 0
                                    

Kiara keroncongan. Perutnya sejak lima belas menit terakhir sibuk berbunyi dan bergetar. Sudah mirip ponsel yang memberitahukan notifikasi dari sang kekasih. Masalahnya Kiara tidak punya kekasih. Jadi dapat dipastikan itu hanyalah perutnya. Memang ada beberapa anak laki-laki yang mendekatinya. Bukan hanya dari sekolah di mana ia bersekolah saat ini, siswa dari sekolah lamanya pun tak terkecuali. Mereka sudah semacam fanboy Kiara yang benar-benar menyayangkan kepindahan sang idola.

Bapak Sutoyo, begitu ketua kelas tadi menyebutnya, masih semangat menjelaskan materi integral kepada seisi kelas. Padahal yang mendengarkannya tidak sampai lima orang termasuk Kiara. Kiara merengut menahan lapar. Sesaat, pandangannya beralih kepada Tia di sebelahnya. Perempuan itu tidur sejak pelajaran sebelumnya. Apakah Tia tidak berniat kuliah? Kiara juga tidak tahu.

Tepat saat bel berbunyi, Tia mendongakkan kepalanya. Perempuan itu terbangun.

"Mau ke kantin nggak?" Kiara bertanya.

Tia sebenarnya tidak mau mengiyakan. Tapi berhubung perutnya sudah sangat lapar bahkan sejak ia berangkat (Tia tidak sarapan saat di rumah, ia melewati begitu saja ayahnya dan hidangan sarapan yang sudah disiapkan) terpaksa ia mengikuti Kiara menuju kantin.

Selesai memesan nasi goreng, Tia duduk menunggu di salah satu meja. Sebelumnya, ia sudah mengarahkan abang nasi goreng untuk mengantarkan pesanannya ke tempat ia akan duduk. Tak berselang lama, Kiara menyusul dengan dua bungkus pilus. "Mau nggak?" Kiara dengan tangkas menepis sebungkus pilus ke arah Tia dan melesat tepat.

"Boleh," jawab lawan bicaranya sambil mulai membuka bungkusnya. "Hari ini ada PR nggak, Ra?"

"Ada, barusan sama Pak –siapa, ya? Guru yang ngajar matematika namanya siapa, gue lupa?"

"Pak Sutoyo."

"Nah, betul."

Tia manggut-manggut. “Entar, tunjukin ke gue, ya?”

"Oke. Seragam olahraga lo udah ketemu?" Kiara teringat bahwa beberapa hari yang lalu seragam temannya itu sempat hilang dan setelah itu ia tak menemui Tia di lapangan. "Seragam olahraga hilang malah cabut. Bisa-bisa lo tinggal kelas, Ya!" Kiara mengingatkan.

"Ya dari pada gue dihukum? Mending cabutlah. Makasih bang," ucap Tia kepada abang nasi goreng yang mengantarkan pesanan Tia lengkap dengan es teh manisnya.

"Sama-sama, Kak!" Abang nasi goreng tersenyum dan berlalu.

"Mending dihukum sih dari pada tinggal kelas, kalo kata gue. Terus udah ketemu?”

Tia meniup-niup nasi gorengnya yang masih sangat panas. "Udah."

“Makasih, Mba!” ucap Kiara berbinar-binar saat Seblaknya tiba.

“Sama-sama, Dek.” Kakak seblak tersenyum dan berlalu.

Tia dan Kiara sibuk dengan santapannya masing-masing. Hiruk pikuk kantin tak lagi sesak saat suara penyiar radio memenuhi sekolah. Suasana di sekitar Tia dan Kiara seketika berubah rileks dan nyaman.

Berbeda dengan Tia, Kiara mencak-mencak di tempat, histeris dan girang. “Sumpah gue pengen banget masuk club radio kayak gini! Di sekolah lama gue nggak ada. Gimana cara masuknya, Ya?”

“Lo nanya gue? Yakin banget gue tau?”

“Terus siapa yang tau? Gue harus nanya siapa?” Kiara geram. Matanya mengitari seluruh kantin, mencari siapa yang bisa menjawab pertanyaannya.

At the MomentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang