Torra ternyata harus berlaku kejam kali ini, menolak untuk termakan rajukan Inna dan juga sebaliknya, membujuk istri kesayangan yang sedang dalam mode merajuk.
Semua bukan tanpa alasan mengapa Torra melakukan hal tersebut, sebab ia memang bertekad untuk tidak memperbolehkan Inna mengikuti acara pelantikan itu.
Pro dan kontra dari pihak rival yang masih sering terjadi, menjadi pemikiran utama Torra, tetapi lebih daripada itu ia ingin agar keselamatan kedua calon bayinya tetap terjaga.
Setelah acara serah terima jabatan nanti, barulah ia akan mengajak Inna untuk keluar dari rumah sebentar, tetapi bukan berjalan-jalan melainkan pergi bertandang ke klinik dokter Padma.
Hm, Torra ingin tahu jenis kelamin bayi-bayinya, dan tujuannya tentu saja agar dapat membeli perlengkapan bayi yang sesuai dengan jenis kelamin mereka.
Masuk ke dalam kamar lama mereka di lantai dua, Torra pun secepatnya masuk ke dalam kamar mandi dengan maksud untuk mengguyur tubuhnya.
"Sayanggg... Kamu tahu tahu apa? Semua hal terbaik akan mas lakukan hanya demi kamu dan calon anak-anak kita." Kejantanan di pangkal paha Torra yang sejak tadi sudah menegang akibat menggendong Inna, adalah penyebab tambahan. Sebab ia tidak bisa menjamin, apakah aksi permintaan maaf itu tidak akan berujung sampai ke permainan panas.
"Sayanggg... Ughhh..." Bersandar di tembok dingin sembari menghadap ke arah pancuran air hangat, tangan Torra mengambil sabun batang di tempatnya dan kini sibuk menyabuni miliknya.
Lelehan air terus saja menghapus busa sabun tersebut, tetapi tangan yang lihai, dapat mengatasi segalanya hingga berulang kali juga buih dan gelembung itu terjadi tanpa henti.
Setali tiga uang, racauan pun demian adanya, bahkan kian membesar tatkala birahi dan angan-angan terus beradu, "Lagi, Sayanggg... Ough, iyaaa...! Main pakai lidah, Yanggg...!"
Usut punya usut, Torra ternyata sudah berkali-kali melakukan hal konyol ini setelah dirinya dan Inna bersepakat untuk saling menahan diri sampai kedua bayi mereka lahir ke dunia, tetapi baru kali ini aksi gilanya itu terdengar jelas di telinga istrinya.
"Astaga, Mas Torra!" Hingga membuat amarahnya tak bisa lagi diredam, lalu meletus begitu saja.
Keterkejutan membawa pergerakan telapak tangan Torra pun terhenti seketika, "Sa..sayang!"
"Kamu ngapain, Masss...! Kamu--"
"--Tunggu! Ini lantai dua, In! Kita sudah bikin janji kalau kamu nggak akan naik sampai ke atas sini kan? Shit! Jaga anak-anak kita, Inna! Kamu mau buat mereka celaka, hang?!" Kemudian kekesalan pun berbalik arah secepat kilat, dengan aksi brutal yang juga Torra tunjukkan, apalagi kalau bukan membanting keras pintu kamar mandi setelah dirinya menarik kasar handuk di gantungan dan memilitkannya di pinggang.
Deg deg deg
Itulah mengapa laju degupan jantung Inna menjadi tidak stabil saat ini, melangkah ke belakang dengan pelan, nyaris seperti seekor tikus yang terperangkap di atas lem keras.
Lantas ketika ternyata kaki tersebut sudah tak lagi bisa bergerak melebar akibat membentur tempat tidur, maka saat itu juga Torra dengan cepat mengangkat tubuh Inna hingga melayang ke udara.
Keduanya turun melewati tangga yang menyimpan seribu satu macam kenangan buruk di benak Inna, dan ketika wanita itu mencoba untuk bertanya, "Mas, kita mau ke mana? Turunin aku!"
"Jangan banyak bicara, Inna! Aku sedang marah!" Torra dengan keras menjawab, bahkan setengah membentak, karena tidak ada lagi panggilan sayang yang biasanya ia sebutkan meskipun tak terbalaskan oleh Inna.
Diam seribu bahasa tanpa berani merepet ataupun bertanya, kini pasangan suami istri itu telah berada di dalam kamar mereka di lantai satu kembali.
Torra meletakkan Inna di atas tempat tidur dan bersiap untuk membersihkan sisa sabun yang masih terasa menempel di badannya, "Ugh!"
BRUGH
"Apa-apaan kamu, In! Gimana kalau tadi aku jatuh pas di atas perutmu, hang?!" Tetapi Inna rupanya melakukan sesuatu yang membuat Torra menjadi sebegitu histeris, menarik pergelangan tangannya hingga membuat tubuh tegap sang suami terhuyun ke atas ranjang.
"Kenapa kamu harus onani pake sabun, Mas?! Kenapa nggak minta biar aku bisa bantuin, hang?!" Dan balasan yang cukup menohok pun Inna berikan pada Torra, disertai dengan butiran air matanya.
"Karena mas nggak mau kalian kenapa-napa, Sayang. Mas cinta banget sama kamu, dan lebih baik begini daripada harus mencelakai anak-anak." Setelah Torra berhasil merengkuh Inna dalam pelukannya, ia pun luluh, menyeka air mata istrinya dan menjelaskan mengapa perbuatan itu bisa terjadi.
"Kita bisa melakukannya, Mas. Jangan terlalu membatasi diri karena aku juga tersiksa selama ini." Dengan suara khas selepas menangis, nyatanya air mata tetap saja mengalir bahkan semakin deras melebihi apa yang sudah terjadi beberapa menit lalu.
Hati kecil Torra seakan tercabik melihat pemandangan di depan matanya itu, hingga entah setan apa yang merasuki, aksi panas pun akhirnya terjadi juga, "Hemphhh...!"
Torra memulai adegan dengan menerkam bibir kenyal Inna, lalu melumat tanpa ampun, dan memang Inna tidak keberatan akan hal itu.
Inna lebih suka jika Torra tak lagi merasa kesakitan menahan hasrat seksualnya yang membuncah hingga harus bermain sabun seperti tadi, "Oughhh...!"
"Sayanggg..." Sementara untuk Torra sendiri, Inna benar-benar salah karena kali ini dirinya seperti lepas kendali, juga tak mau menyia-yiakan kesempatan.
Torra menjadi seperti seekor Singa jantan yang terdampar di padang gurun dan baru saja menemukan sebuah oase, "Sayanggg...!"
"Achhh...! Iya, Masss...!" Menjadikan semakin beringas, mengigit leher jenjang Inna hingga menimbulkan warna kemerahan sebagai tanda kepemilikan.
Saat itu, sepertinya cinta telah membutakan seluruh logika dan juga perasaan, hingga tak ada yang berniat untuk menolak bahkan menegurnya.
Semakin intens Torra bergerak, maka suara desahan pun kian terdengar mendayu dari pita suara Inna, menuju ke titik inti diri yang sudah berkedut hebat di bawah sana.
Tanpa tahu malu Inna menuntut Torra untuk memuaskan keinginannya di sana, "Masss... Ayo isap!"
"Langsung masuk aja ya, Sayang?" Namun, Torra berusaha menolaknya.
Tentu saja Inna merasa aneh dan kembali bertanya, "Lho! Kok dimasukin, Mas?"
"Iya, Yang. Punya mas udah mau keluar soalnya." Torra pun menjelaskan bagaimana gelombang gairah itu mempengaruhi dan membutakan dirinya.
"Hah? Mau keluar gimana?"
"Mau croot, Yang. Kan kita udah lama nggak main tusuk-tusukan. Dari kamu hamil lagi kan? Jadi kali ini mas maunya nusuk aja." Membuat aksi sahut menyahut tidak terelakkan lagi di sana.
Keduanya mencari kesepakatan demi calon buah hati yang masih berada di dalam perut, "Tapi kan kata dokter kita nggak boleh--"
"--Mas janji bakalan pelan-pelan geraknya, Yang. Nggak akan keras-keras, juga nggak bakalan naik ke atas. Kita main di ujung tempat tidur aja. Bisa kan, Sayang?"
"Main di ujung tempat tidur?"
"Iya, Yang. Kakiku di bawah kayak gini tuh."
"Em, tapi pelan-pelan ya, Mas? Aku takut anak kita--"
"--Janji, Yang. Mas nggak akan keras-keras geraknya." Dan Torra pun berhasil memenangkan perdebatan kecil itu, setelah Inna menerima tawaran yang diajukan padanya.
Oh, tidak. Inna selalu saja begitu. Kalah pada hasrat dan juga perasaannya untuk Torra, mengesampingkan peringatan dokter Padma yang sudah sedari awal ia ketahui.
Di satu sisi, Inna tak mungkin terus berkeras di tengah tingkah konyol Torra yang menurutnya sangat tidak biasa dan menyayat hati, maka itulah alasan mengapa ia dengan rela hati mengabulkannya.
Inna merasa seperti sedang memakan buah simalakama, dilema, sekaligus bimbang tanpa tahu harus berbuat apa.
***
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
Tolong, Ceraikan Aku! [END]
RomanceMenikah itu tidak mudah. Menikah dimaksudkan agar hidup kedua pasangan menjadi teratur dan terarah dengan baik, tapi tak jarang sebuah pernikahan hanya berlandaskan coba-coba, karena harus bertanggung jawab akibat tak kuat menahan hawa nafsu, lalu t...