Hari-Hari Terakhir

16 0 0
                                    

“Permisi, kamarnya Ibu Tia, kan?” terdengar suara dari balik pintu.

“Maaf, dengan siapa?” jawab Riko.

“Saya dr. Darwin. Saya butuh bicara dengan salah satu anggota keluarga.”

“Baik dok, saya saja. Sayang, tunggu sebentar ya.”

Riko keluar dari kamar rawat inap Tia, lalu bertanya kepada dokter, “Ada apa dok? Bagaimana kondisi istri saya?”

Dokter menghela nafas, lalu berkata “Sebelumnya saya minta maaf karena saya punya berita buruk dan berita baik. Bapak Riko mau dengar berita yang mana dulu?”

“Berita baik dulu deh dok.”

“Berita baiknya, pengajuan klaim rawat inap Ibu Tia sudah disetujui oleh pihak asuransi. Jadi Bapak tidak perlu lagi memikirkan biaya pengobatannya.”

“Berita buruknya dok?”

“Mohon maaf sebelumnya pak, kalau mungkin berita ini sulit untuk diterima. Karena sebulan lalu, Ibu Tia terlambat dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan awal. Dan melihat kondisi kesehatannya yang terus menurun, kemungkinan hidup Ibu Tia hanya tinggal 7 hari lagi.”

Riko terkejut mendengarnya. Masih jelas di ingatan ketika 3 bulan yang lalu, Riko dan Tia berjanji untuk terus bersama, dalam susah maupun senang, hingga maut memisahkan. Siapa sangka, maut itu akan datang secepat ini? Dia termenung, lalu berkata, “Dokter serius? Apakah tidak ada cara lain untuk menyelamatkan istri saya?”

“Selama 1 bulan Ibu Tia di rumah sakit, saya bersama tim dokter sudah berusaha melakukan yang terbaik. Tapi sel kanker di tubuh Ibu Tia berkembang dengan sangat cepat, sehingga beliau tidak dapat tertolong lagi.”

“Lalu apa yang harus saya lakukan, dok?”

“Tidak banyak yang bisa dilakukan. Yang penting sekarang adalah berdoa yang terbaik untuk Ibu Tia, dan mungkin bapak bisa melakukan sesuatu agar hari-hari terakhir Ibu Tia penuh dengan kebaikan.”

“Baiklah, dok. Saya akan berusaha.”

Tiba-tiba terdengar suara derit pintu. Riko dan dokter menoleh ke pintu kamar Tia, namun pintu itu masih tertutup.

“Bapak Riko, saya permisi dulu.”

Dokter berlalu, dan Riko kembali ke kamar untuk menemui Tia. Tia terlihat masih duduk di tempat tidurnya sambil mengetik sesuatu di telepon genggamnya. Sepertinya sedang chat dengan Yuri, sahabat Tia sejak SMA yang dulu mengenalkannya dengan Riko. Tia bilang kalau Yuri akan datang untuk menjenguk.

Ada yang mengetuk pintu. Yuri sudah tiba. Yuri membawa buah-buahan untuk Tia. Yuri membawa kartu Uno, permainan kesukaan Tia, lalu mereka bermain bersama. Tak terasa waktu hari sudah gelap, Yuri harus pulang.

“Riko sayang, kamu antar Yuri ke parkiran ya.”

“Ayo, Yuri. Aku antar.”

Riko dan Yuri berjalan di lorong rumah sakit menuju parkiran. Mereka lebih memilih menggunakan tangga daripada lift. Riko menceritakan kondisi Tia yang tinggal beberapa hari lagi kepada Yuri.

“Kamu serius, Rik?” tanya Yuri sambil berteriak. Langkah Yuri terhenti. Yuri terduduk di tangga rumah sakit. Yuri hanya diam dengan tatapan kosong. Tiba-tiba Yuri berkata, “Riko, artinya tidak ada yang bisa menghalangi hubungan kita. Kau tahu kan, aku sudah muak dengan suamiku. Si kriminal itu, yang dulu dijodohkan ayah denganku, tidak ada yang bisa diharapkan darinya. Sekarang dia hanya mendekam di penjara karena korupsi. Huh, dasar tidak berguna!”

“Lucu juga ya, Yur, kalau mengingat kamu dulu mengenalkanku dengan Tia agar kamu ada alasan ke suamimu untuk bisa bertemu denganku,” kata Riko. Riko terdiam sejenak, lalu teringat kata-kata dokter, lalu berkata, “Yur, aku boleh minta tolong sesuatu gak?”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 30, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hari-Hari TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang