31. Jebakan

31 7 0
                                    

Calla tertegun di depan gerbang sekolah ketika ponselnya kedatangan sebuah pesan. Dari nomor tak dikenal, tetapi kata-kata orang itu membuat matanya terbelalak.

Kalau kamu mau Juna selamat, datang ke gudang belakang sekolah sekarang.

Tanpa ba-bi-bu, Calla berlari masuk kembali ke area sekolah. Dia berlari sambil menelepon Raihan. "Rai, Juna dalam bahaya. Gudang belakang sekolah. Sekarang! Halo, Rai! Raihan! Ah, sial!"

Calla berdecak sebal karena ponselnya tiba-tiba mati. Dia jejalkan ponselnya ke saku jas dan bergegas pergi menuju gudang belakang yang terletak bersebelahan dengan tempat penyimpanan karung-karung sampah. Suasananya sangat sepi. Apalagi sekarang sudah jamnya pulang.

Calla berdiri di depan pintu gudang dengan perasaan takut. Dia ragu-ragu membuka pintunya. Sejurus kemudian, seseorang menarik Calla masuk hingga dia terempas di lantai kotor.

Mata Calla terbelalak lagi ketika melihat seseorang yang berdiri di hadapannya setelah menutup pintu. Pak Hari. Calla celingukan ke segala penjuru gudang. Dia tidak menemukan Juna di mana pun. Hanya ada kursi dan meja-meja rusak yang tidak tersusun rapi di pinggir ruangan.

"D-di mana Juna?" Calla berujar gemetaran.

"Ternyata kalian memang sedekat itu, ya? Gak salah saya pilih kamu sebagai target."

"Apa?" Calla mengerutkan dahi, kemudian membeliak setelah menyadari sesuatu. Dia telah dijebak!

"Bapak mau apa?" Calla beringsut di lantai ketika Pak Hari berjalan mendekat padanya.

"Saya gak bakal ngapa-ngapain kamu. Kamu cuma perlu diam di sini satu atau dua hari sampai Juna mau melakukan sesuatu."

"Apa maksud Bapak? Juna harus melakukan apa?"

"Juna harus mengakui kejadian pagi ini adalah kesalahan dia, dan semua bukti itu adalah bohong."

"Apa?" Calla berdecih, lalu berdiri dan menatap Pak Hari dengan lebih berani. "Bapak bercanda? Gak tahu malu banget melempar kesalahan ke orang lain!"

Pak Hari tiba-tiba mencengkram wajah Calla di bawah dagu. "Jangan memancing saya untuk menyakiti kamu!"

Tubuh Calla gemetaran. Wajahnya diempas begitu saja sampai dia merasa tulang lehernya mau patah. Calla memegangnya sambil meringis. Meski begitu, dia tetap waspada mencari celah untuk kabur. Ketika Pak Hari bicara melantur, Calla membuat perhitungan untuk bergerak ke kanan atau kiri. Pak Hari makin mendekat padanya. Calla menyerang tulang kering Pak Hari dengan kakinya, lalu dia memilih jalan kanan dan berlari menuju pintu. Nahas. Dia tidak kepikiran kalau pintunya bakal dikunci. Lolongan tawa Pak Hari membuat bulu kuduk Calla berdiri.

"Kamu gak akan bisa keluar dari sini," kata Pak Hari. "Tempat ini juga jauh dari keramaian. Gak akan ada yang dengar walaupun kamu teriak."

Calla meringis memukul pintunya. Ponselnya juga sudah mati, teronggok di saku jas. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Calla menarik napas dan membuangnya. Tenang. Pasti ada jalan keluar selain pintu. Namun, dia tetap harus hati-hati. Tidak boleh membuat pergerakan yang menunjukkan kalau dia menemukan jalan lain. Nanti aksesnya diblokir.

Calla berbalik dan mengalihkan perhatian Pak Hari dengan berujar, "Kenapa Bapak melakukan ini?" Matanya sambil awas memeriksa sekeliling. Dia menemukan lubang sirkulasi udara di tembok belakang, tetapi lumayan tinggi. Mungkin kalau Calla naik ke meja bisa tercapai oleh tangannya. Akan tetapi, dia tidak yakin apakah dirinya bisa memanjat atau tidak.

"Sudah saya bilang, supaya Juna mau melakukan sesuatu," jawab Pak Hari.

"Maksud saya bukan itu. Pak Hari menerima bayaran untuk menyingkirkan Juna dan Rania, lalu memberikan posisi mereka pada orang lain."

Pak Hari terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. "Kamu gak perlu tahu."

"Ternyata benar uang membuat orang lupa segalanya."

Air muka Pak Hari berubah menyeramkan. Tatapannya tajam. Calla merapatkan punggung ke pintu.

"Bagi orang-orang kaya seperti kalian, uang memang bukan apa-apa." Suara Pak Hari terdengar dingin. "Kalian bisa membeli semuanya termasuk harga diri seseorang."

"Itu karena Bapak memilih merendahkan diri dan menjualnya."

Pak Hari tertawa, tetapi terdengar getir. "Benar. Orang seperti saya memangnya punya pilihan lain?"

Pak Hari berjalan mendekat. Calla makin merapat ke pintu, tetapi percuma saja karena dia sudah tidak bisa bergeser lagi untuk menjauh.

"Hidup memang tidak adil, bukan?" ujar Pak Hari. "Kalian anak-anak orang kaya tumbuh sehat dan bahagia, sementara anak saya ...!" Tatapan tajam Pak Hari tampak tergenang. "Kenapa harus anak saya?! Kenapa bukan kalian yang anak-anak orang kaya?!"

Calla tersentak mendengar Pak Hari bicara sambil teriak-teriak. Dia teringat tentang anaknya Pak Hari yang dirawat di rumah sakit.

"Memangnya itu salah kami?" Suara Calla gemetaran. "Kenapa harus kami yang jadi korban protes Bapak pada kehidupan?!" Calla balas berteriak.

"Kalian sudah punya segalanya. Tanpa beasiswa dan nilai bagus pun, kalian masih bisa masuk universitas swasta yang elit dengan uang yang kalian miliki."

"Ini bukan masalah beasiswa atau nilai. Kalau hal ini dibiarkan, akan lebih banyak lagi orang yang menjual harga dirinya demi uang, lalu anak yang tidak tahu apa-apa jadi korban." Calla menghela napas menenangkan dirinya sendiri. "Oke, Bapak bilang kami beruntung karena punya uang. Tapi bagaimana kalau korbannya sama seperti anak Bapak?"

"Sudah cukup ceramahnya?"

Calla terdiam. Ketakutannya datang lagi ketika Pak Hari menghampiri. Kedua tangannya ditarik ke belakang. Tasnya dilempar ke sembarang arah. Calla berontak, tetapi dia didudukkan paksa dengan kedua lutut menjadi tumpuan. Tangannya diikat kencang-kencang di belakang punggung. Setelah itu, giliran kedua kakinya diikat dengan posisi berselonjor. Rasanya Calla sudah ingin menangis.

Pak Hari mengeluarkan ponsel dan melakukan panggilan video dengan seseorang. Calla sengaja ditariknya agar ikut terekam. Calla membeliak karena orang di dalam video adalah Juna. Juna lebih terkejut lagi. Cowok itu beseru, "Calla!"

"Jun!" Tangis Calla pecah, tetapi mulutnya segera dibungkam. Wajah Calla berontak di bawah kungkungan tangan besar Pak Hari.

"Kamu lihat gadis ini?" tanya Pak Hari. "Dia akan selamat kalau kamu mau menuruti perintah saya."

Calla menggeleng cepat-cepat dengan erangan, karena dia tidak bisa bicara apa-apa. Air matanya luruh deras.

"Jangan sentuh Calla! Saya akan melakukannya, tapi lepaskan Calla sekarang!" kata Juna.

Calla menggeleng lagi. Sungguh. Calla tidak mau Juna menerima semua kesalahan itu, padahal dia adalah korbannya.

Pak Hari mengempaskan Calla sampai tergeletak di lantai, sementara dirinya beranjak dan bernegosiasi dengan Juna di jarak beberapa langkah. Calla berusaha bangun dan berjalan meloncat-loncat menghampiri Pak Hari. Dia berteriak, "Juna, jangan lakukan itu! Aku bisa bertahan sampai kamu datang! Aku di gud—aaaaa!"

Tangan kekar Pak Hari mendorong Calla sampai terjatuh. Pelipis kirinya terantuk kaki kursi yang ditaruh terbalik. Cairan hangat mengalir ke pipi. Aroma besi menusuk indera penciumannya. Calla mengangkat kepala yang terasa pusing. Meski begitu, dia masih bisa melihat darah setetes demi setetes berjatuhan ke pangkuannya. Pandangannya makin kabur. Sebelum benar-benar hilang kesadaran, Calla sempat mendengar teriakan Juna dari telepon, dan tawa Pak Hari yang tidak ada rasa prihatin sama sekali.

_______________

Anonymous Code, winaalda©2020

All Right Reserved

15 Desember 2020

ANONYMOUS CODE [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang