35. Pernikahan Ibu

36 8 0
                                    

Juna masih membungkus dirinya dengan selimut ketika terdengar suara ponsel berdenting di atas nakas. Dia beringsut tanpa melepaskan diri dari selimutnya, mengambil ponsel dan memeriksa pesan.

Jun, kamu gak lupa hari ini, kan?
Juna mendengkus dan melempar ponselnya ke kasur. Hari ini adalah pernikahan ibunya. Bahkan sampai waktunya tiba pun, Juna masih belum menemukan jawaban apakah dirinya akan pergi atau tidak. Bayang-bayang masa lalu bergentayangan setiap kali dia berpikir. Ketika papanya pertama kali datang menemui Juna dan ingin membawanya pergi sendiri. Tanpa ibunya. Dan ketika Juna ingin ibunya ikut serta, papanya bilang, "Enggak bisa. Papa sudah punya keluarga baru."
Kenapa tidak semua hal berjalan sesuai keinginan Juna? Kenapa mereka memilih saling melepaskan daripada bertahan? Apa selama pernikahannya, mereka tidak bahagia? Dan kehadiran orang baru, bisa menjadi penawar luka-luka mereka?

Suara gedoran pintu membuyarkan lamunan Juna. Dia bisa mengenali siapa yang teriak-teriak di luar. Siapa lagi yang mengetuk pintunya dengan cara seperti itu kalau bukan Raihan?
Juna malas-malasan turun dari kasur dan pergi ke depan membukakan pintu. Dia mendapati ekspresi Raihan yang terkejut.

"Apa-apaan ini? Hei! Kamu baru bangun?!" Raihan mengacak rambut Juna yang—pasti—sudah awut-awutan dari sananya.

Juna menepis tangan Raihan. "Ada apa?"

"Kamu belum siap-siap?"

Juna menghela napas. Dia paham ke mana arah pembicaraan Raihan. Juna terkesiap ketika Raihan mendorong tubuhnya menuju kamar mandi.

"Cepat mandi sana! Nanti kamu telat," kata Raihan.

"Enggak mau!" Juna berusaha menghindar.

"Kalau gak mau mandi setidaknya cuci muka, kek."

"Enggak ma—" Juna tersentak mendapati pintu yang dibanting di depan wajahnya.

"Aku akan kunci pintunya!" teriak Raihan.

Juna mendesah lemah. "Hah, menyebalkan!"

Mata Juna menelisik seisi kamar mandi. Dia terpaku menatap jet shower. Ya sudahlah mandi saja. Berangkat atau tidak mah pikirkan nanti saja.

Juna tidak membawa handuk. Malas juga menyuruh Raihan membawakannya. Setelah selesai, akhirnya Juna keluar dengan baju yang tadi dia kenakan.

"Han, buka pintunya!" ujar Juna sembari menggedor.

"Pintunya gak dikunci, kok." Terdengar suara Raihan menjawab.

Juna membeliak. Merasa bodoh karena mengira Raihan mengunci dirinya sungguhan. Mata Juna makin membulat ketika tiba di kamar. Seisi lemarinya sudah berserakan di kasur.

"Kamu ngapain ngobrak-ngabrik lemariku?!" teriak Juna.

"Kamu gak punya jas sama sekali?" Raihan berujar dengan wajah tanpa dosa.

"Aku punya, kok." Juna menunjuk jas seragam sekolah yang tergantung di pintu.

"Hadeh! Yang bener aja!" Raihan geleng-geleng, kemudian tangannya bergerak-gerak dan berujar, "Ikut aku."

Juna terdiam kebingungan. Raihan yang sudah berjalan beberapa langkah berbalik lagi dengan mata memelotot. "Ikut aku!" katanya sekali lagi. Kali ini nadanya lebih tinggi dan menakutkan.

Raihan membawanya pergi ke rumah utama. Juna mengerutkan dahi selama perjalanan. Masa Raihan mau meminjamkan jasnya? Sampai segitunya dia ingin Juna pergi? Juna berjalan mengentakkan kaki sambil cemberut.

"Juna, kenapa rambut kamu basah?"

Juna menoleh sambil manyun ketika mendengar mamanya Raihan bertanya. Juna bingung dengan ekspresi mama Raihan yang terlihat terkejut.

ANONYMOUS CODE [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang