PART 61

1.3K 241 58
                                    

Dua bulan berlalu, Torra Mahardika pun sudah sejauh itu menjabat sebagai Wakil Bupati di Kabupaten Kupang. Ia diminta untuk memakai kendaraan dinas, tetapi tidak mau menggunakannya, pun sama halnya dengan tempat tinggal.

Frans adalah orang yang meminta Torra agar segera menempati rumah dinas bagiannya, tetapi setali tiga uang, ia masih berkeberatan untuk tinggal di sana.

Rumah dan mobilnya yang tak kalah mentereng, merupakan alasan mengapa Torra tak ingin menggubris hal tersebut, juga karena Inna sehingga ia memutuskan untuk tetap seperti itu.

"Semuanya udah beres, Sayang?" Tanya Torra melepas kaca mata yang membingkai di hidung mancungnya. Ia membaca ulang undangan tujuh bulanan yang disodorkan padanya, lalu bertanya sembari menghalangi jalan istrinya.

Inna yang berada di atas kursi roda elektrik, baru saja keluar dari kamar mereka. Dengan tombol otomatis bewarna hitam di gagangnya, ia menjalankan benda tersebut menuju ke arah dapur, tetapi Torra lebih menghadangnya.

 "Sudah, Mas. Ayo makan yuk? Aku lapar." Menghembuskan napas kasar, Inna menjawab singkat dan juga merenggek dalam waktu yang bersamaan.

Tak ingin menambah kekesalan Inna semakin bertambah, Torra pun mendorong kursi roda tersebut dari belakang, padahal sejatinya benda itu dapat berjalan secara otomatis hingga sejauh mana pun tujuannya.

Setelah Torra mendudukkan Inna di atas kursi, ia membiarkan kedua tangan istrinya itu sibuk mengambilkan nasi dan juga lauk pauk untuknya, "Mas, kata dokter Padma, mba Laura hampir mati karena minum racun."

"Hah? Kok bisa? Pasti gara-gara dokter gila itu!" Namun, entah angin apa yang berembus, tiba-tiba saja Inna mulai bercerita tentang Laura dan membuat Torra terkejut.

Satu pertanyaan muncul dengan spontan, akibat dari rasa penasarannya, "Nggak tahu, Mas. Untungnya anak dalam perutnya masih bisa diselamatkan. Kasihan."

"Lho? Dia hamil lagi ya? Bukannya sidang cerainya udah berjalan waktu itu? Rujuk apa gimana? Padahal bayinya masih kecil tau, Yang. Baru empat atau lima bulan kalau nggak salah." Dan Inna pun memberi jawaban yang kian mengejutkan, membawa cerita saling bersahut-sahutan di sana.

"Baru aku mau tanyain ke kamu, Mas. Malah tanya balik ke aku."

"Ya mana mas tahu, Yang. Udah lama nggak ketemu sama dia sejak kita ribut sama si Aldi. Rujuk kali mereka."

Seharusnya Inna tidak mengambil topik tersebut ketika keduanya sedang berada di atas meja makan, "Mas senang kalau mereka rujuk?"

"Lha? Kok pertanyaannya kayak gitu? Hidupnya Laura udah bukan urusan mas lagi sejak kita menikah, Sayang. Kalau pun pernah ada kesalahan, mas harap semua itu hanya untuk kisah di masa lalu dan nggak boleh sampai terulang kembali dengan siapa pun juga!" Sebab pada akhirnya Torra harus kembali menjabarkan kesalahan yang pernah ia perbuat pada Inna, juga menyebabkan selera makannya lenyap seketika.

Inna menyadari hal tersebut, terlebih ketika suara Torra naik satu tingkat dan membuat jantungnya berdebar kencang. Ia pun segera mencari cara agar suasana kembali mencair, "Bukan gitu maksud aku, Mas. Ak..aku--"

 Bip bip bip bip

"--Pak ketua telepon nih, Yang. Mas angkat dulu ya? Kamu makan aja duluan jangan tungguin mas nanti keburu anak-anak kelaparan." Tetapi suara telepon menyebabkan obrolan keduanya terjeda, menciptakan jarak akibat Torra yang lebih dulu menyingkir dari meja makan.

Rasa bersalah pun menjalar ke dalam diri Inna dan membuat kedua matanya berair, tetapi seharusnya hal tersebut tak perlu terjadi, karena Torra sama sekali tidak menyimpan amarah untuk istri kesayangannya itu.

Dua puluh menit kemudian, Torra pun kembali ke meja makan, tetapi Inna sudah tidak berada di sana lagi. Hal itu menyebabkan kedua bola matanya memindai ke seluruh ruangan, dan ia mendapati pintu samping terbuka lebar.

Halaman belakang tempat mbok Darmi biasa menanam Tomat, Cabai, Pepaya dan juga Kangkung dengan metode Hidroponik di dalam beberapa baskom. Torra yakin saat ini Inna sedang memandangi pot-pot Kaktus miliknya, sebab sepanjang dua minggu ke belakang, hal itulah yang selalu dilakukannya.

"Kaktus nggak boleh terlalu banyak kena air, Sayang. Nanti cepat busuk dan mati," ujar Torra dari balik punggung, membenarkan dugaannya tadi.

Sebenarnya Inna sedikit terkejut dengan kehadiran Torra, karena sejak tadi hal buruk selalu menjadi akhir di isi kepalanya, tetapi ia tidak memiliki persiapan apa-apa untuk membalas perkataan suaminya.

Sadar akan apa yang terjadi, Torra mendekat ke arah Inna dan berjongkok tepat di depan kursi roda elektrik tersebut. Ia mengambil pot Kaktus di pangkuan si cantik dan menyimpannya ke tempat semula, lalu menangkup kedua pipi dan mengecup kening datar itu cukup lama.

"Sayang... Kenapa, hm?" Tanya Torra menatap ke arah mata Inna yang memerah. Ia tahu air mata sempat menetes dari sana, tetapi berpura-pura bodoh agar dapat mengetahui semuanya.

Gelengan kepala dari Inna sebagai jawaban, ternyata kian memaksa Torra untuk melakukan lebih. Ia mengecup punggung tangan istrinya seperti apa yang diperbuatnya beberapa saat lalu di atas kening, dan usaha pun membuahkan hasil.

"Sayanggg... Kenapa menangis? Ini kan hari minggu, Yang. Waktunya mas ada di rumah, jadi kita harus hepi-hepi bukannya malah sedih-sedih." Namun, yang terjadi adalah hal buruk untuk Torra, sebab sekali lagi ia harus melihat Inna menangis dengan tersedu-sedu.

"Ma..afkan aku, Mas. Aku jan..ji nggak akan buat mas marah lagi. Ng..nggak akan mencari-cari kesalahan, pa..dahal aku juga punya banyak dosa sama mas," jawab inna dengan terbata-bata. Pikirannya melayang jauh, tepat pada keadaan di mana Aldi pertama kali mengajaknya untuk berbuat dosa, dan itulah penyebabnya.

Meski begitu tak ada keberanian dalam diri Inna untuk memberitakan dosa besar itu, karena demi apapun juga, ia belum sanggup menerima kekacau yang akan muncul dari kejujuran tersebut.

"Kamu ngomong apa, sih, Sayang... Mas nggak marah kok. Mas cuma agak capek, sekaligus kepikiran sama kerjaan di kantor. Itulah makanya tadi bisa lepas kontrol, tapi mas usahakan yang kayak tadi bakal dikurangi biar anak-anak nggak kabur ke mamanya terus. Ya kan, Sayang?" Sementara Torra yang tidak mengetahui, merasa bahwa kesalahan tetap berada di pihaknya, dan hari itu juga segudang hal manis terjadi bertubi-tubi darinya untuk Inna.

Memang, kejujuran adalah pondasi penting dalam membangun rumah tangga agar menjadi kokoh dari terpaan badai, tetapi tidak selamanya berterus terang harus dilakukan dan menciptakan prahara yang lebih besar lagi.

Biarlah Inna Bastari menyimpan rapat-rapat dosa tersebut di dalam hatinya dan angan-angannya saja, dengan catatan ia harus merubah dirinya demi cinta yang kian menyala untuk seorang Torra Mahardika.

***

BERSAMBUNG

Tolong, Ceraikan Aku! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang