"Gimana caranya?"
"Kalau lo gabung jadi vokalis, kita udah bisa bikin band baru."
"GUE?"
"Iya, lo. Siapa lagi?'
"Tapi gue..."
Theo menepuk bahuku beberapa kali. "Lah kenapa? Lo bagus kok nyanyinya. Ara aja sampe kekeh banget bilang kalau seharus lo yang nyanyi hari ini."mungkin Theo melihat wajahku yang masih ragu jadi dia menambahkan. "Lo itu bukan penganti, tapi emang harusnya jadi vokalisnya."
Benarkah Ara bilang begitu? Dia mengakui kemampuan yang bahkan aku sendiri tak yakin."Kalau gitu Ara ikut band kita juga."
"Hm...."Theo mengusap dagunya. "Kayaknya bakal susah sih."
"Dia nggak suka kalau musiknya pop?"
Theo menghela nafas berat. "Bukan gitu."
Aku menatap Theo meminta penjelasan lebih.
Theo terlihat ragu. "Ceritanya panjang. Tapi kayaknya dia nggak bakal mau sih."
"Tanyain dulu. Siapa tahu kalau lo yang ngajak dia mau."aku mendesaknya.
Theo terkekeh. Dia meraih botol air mineral, menenggaknya banyak-banyak Tetesan air terlihat menitik disudut bibirnya. "Lo aja sana coba tanyain."
*
Acara ulangtahun sekolah tak berakhir begitu saja. Setelah pulang dan berganti baju aku kembali ke sekolah saat langit mulai menggelap. Sesuai perjanjian awal dengan Theo dan Jimmy kami akan bertemu di koridor depan kelas.
Theo sudah menunggu disana dengan kaus longgar warna hijau tua dan celana kain hitam kebesaran. Saat melihatku mendekat, Theo melambaikan. Aku duduk bangku panjang disamping Theo.
"Weh gila dandan bener lo!"
Aku berdeham. Padahal aku hanya mengenakan celana jeans hitam, kaos putih polos dan jaket jeans. "Jimmy belom dateng?"
"Tauk tuh anak."Theo malah mengambil ponsel dan sibuk dengan benda itu.
Kami menunggu dalam diam. Dari lapangan mulai terdengar lagi penampilan band bintang tamu. Saat band akan menampilkan lagu mereka yang ketiga, Theo berdiri tiba-tiba. Dia memasukkan ponsel ke saku celana. "Gue kedepan dulu ya. Ara baru dateng."
Aku mengangguk saat Theo melambaikan tangan dan pergi begitu saja. Untung Jimmy datang tak lama kemudian. Aku mengobrol dengan Jimmy beberapa lama tapi Theo yang tadi bilang menjemput Ara tak juga datang.
Aku baru pertama kali ini berdua dengan laki-laki, di acara ulang tahun sekolah malam-malam, dan ini terasa sangat aneh. Mungkin ini juga yang difikirkan Jimmy.
Disaat band pembuka menyanyikan lagu mereka yang terakhir, aku berdiri kebingungan diantara kerumunan orang yang berdiri didepan panggung, hampir memenuhi seluruh lapangan sekolah. Tadinya aku dan Jimmy akan pergi ke sebuah stan makanan di sudut lapangan untuk makan malam, tapi saat sedang berjuang menembus kerumunan penonton di depan panggung dia berjalan cepat dan pergi meninggalkanku di belakang. Begitu sampai di stan makanan, aku tak melihat Jimmy di manapun.
Aku memutuskan untuk tak mencari Jimmy. Sambil membawa mangkuk kertas berisi nasi kari, aku berjalan pelan menghindari lapangan. Aku ingin makan dalam damai lalu segera pulang ke rumah.
Aku menyusuri koridor kelas 12 yang sangat sepi, kembali ke depan kelasku. Dari kejauhan aku melihat seorang gadis mengenakan terusan selutut berwarna biru muda berdiri disamping bangku panjang yang tadi aku duduki bersama Jimmy dan Theo. Aku tak bisa mengenalinya karena dia menunduk dengan rambut hitam bergelombang yang menutupi wajah. Begitu jarak kami tersisa beberapa meter akhirnya aku tahu siapa dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
ADAGIO
Teen FictionAwalnya Khafa tak percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Segala hal, apalagi cinta, butuh waktu untuk tumbuh dan dirasakan. Ibarat musik semuanya harus mengalun dengan tempo yang tak terlalu cepat dan mengalun lembut (adagio). Khafa percaya...