13. Diam atau Lawan

34 11 3
                                    

"Kamu gak mau naik mobil Papa saja?"

Pertanyaan Papa membuat Juna menoleh, tetapi pandangannya langsung tertumbuk pada Raihan yang bersandar di pintu mobil.

"Enggak usah." Juna berlalu dan memilih jalan kaki seperti biasa. Baru setelah itu dia akan naik angkot setibanya di jalan raya. Lagi pula, lima belas menit jalan kaki bukan apa-apa. Hitung-hitung olahraga.

Juna berdiri di pinggir jalan menunggu angkot yang lewat ke arah sekolahnya. Bunyi klakson terdengar. Ketika Juna menoleh, tampak Papa menurunkan kaca mobil di kursi belakang.

"Kamu yakin mau naik angkot saja?" Papa bertanya sekali lagi.

Juna mengangguk. "Iya."

Papa tampak menghela napas. Dia menyuruh sopir kembali jalan dan menutup kaca mobilnya.

Juna menyetop angkot dan masuk ke sana. Berdesakan dengan ibu-ibu yang barang bawaannya banyak sekali. Seikat daun kangkung menyembul dari dalam keranjang. Barangkali dia baru saja pulang dari pasar. Juna sama sekali tidak keberatan dengan suasana seperti itu. Meski Meysha sempat bilang kalau dirinya adalah putra mahkota yang menyamar jadi rakyat jelata, Juna lebih merasa seperti rakyat jelata sungguhan.

Setelah memakan waktu beberapa lama, Juna turun dari angkot dan membayarnya. Dia harus berjalan kaki lagi karena angkot tidak melewati jalan yang ada di kompleks sekolah. Itu bukan jalan utama yang biasa dilalui kendaraan umum. Walaupun bisa saja mereka lewat sana, tetapi jaraknya memutar cukup jauh untuk kembali ke jalan utama. Mereka yang dikejar setoran tidak bisa membuang waktu seperti itu.

Juna tertegun ketika melihat Calla melambaikan tangannya di gerbang. Dia mempercepat langkah menghampiri gadis itu.

"Aku barusan lihat Raihan sama ...." Calla berdeham. "Apa masalahnya akan rumit?"

Juna mendesah. "Kayaknya, sih. Kamu tahu Irgy kayak gimana."

"Apa kamu diam saja karena gak mau kejadian seperti ini?"

Juna terdiam sejenak. "Aku cuma gak suka keributan."

Calla menatap Juna, membuatnya gelisah.

"Kenapa lihatin aku seperti itu?" kata Juna yang melengos sambil pergi.

Tiba-tiba Calla menepuk lengan Juna dan membuatnya terkesiap, tetapi gadis itu tampak biasa saja.

"Anak baik, sesekali bikin masalah gak apa-apa," ujar Calla. "Toh, kamu cuma membela diri."

"Kamu mau aku seperti dia?"

Calla menghela napas. "Ya, enggak sebarbar Raihan juga. Tapi minimal kamu kasih pelajaran sedikit, kek. Walaupun enggak bikin Irgy kapok, minimal dia kelilipan gitu."

Juna mendesah. "Lain kali aku lempar dia pakai pasir."

"Heh? Kok pasir, sih? Kenapa gak batu aja sekalian?"

"Kamu bilang biar dia kelilipan."

Calla terbahak. Juna memandangnya dan tersenyum tipis. Mereka berpisah di lorong dan menuju kelasnya masing-masing. Belum juga duduk di kursinya, seseorang sudah mengusik Juna.

"Aku belum pernah lihat Om Ardan datang ke sekolah buat kamu," ujar Irgy. "Dia benar-benar lebih sayang sama Raihan, ya?"

"Kamu terlalu memperhatikan Raihan karena dia yang lebih banyak bikin masalah. Kamu gak pernah lihat Papa datang mengambil raporku?"

Irgy tertawa sinis. "Lalu kenapa tadi aku cuma lihat Raihan yang ada di mobil? Kamu enggak diajak? Oh, iya. Kamu memang gak mau menggunakan fasilitas dari papa kamu, ya? Makanya kamu pertahankan beasiswa itu, padahal kalau tetap bayar pun kamu mampu."

ANONYMOUS CODE [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang