Kitab Sembilan Kegelapan

880 62 3
                                    

Tangan Murni ditarik oleh Ni Ayu Sukma Abang, "Kemari Murni,  aku ingin menunjukkan sesuatu"

Kedua gadis cilik itu berlarian melewati lorong-lorong istana yang besar dan menyeramkan. Lantai istana itu hampir-hampir tidak kelihatan karena tertutup kabut tipis berwarna putih. Kabut itu bagi Murni terkadang memuakkan karena bercampur bau anyir dan amis darah.

Murni bergidik ketika mereka harus melewati mahluk penjaga istana yang berbadan besar bagai raksasa, berwarna hitam gelap dan mata memancarkan cahaya merah, di badannya melingkar gelang dan kalung keemasan bak prajurit kerajaan. Namun mahluk itu tunduk hormat ketika Ni Ayu melintas di depan mereka.

"Mahluk itu seperti sangat hormat kepadamu Ni Ayu Sukma Abang,  apakah kau petinggi di istana ini?" tebak Murni.

Gadis cilik itu tersenyum jenaka,  matanya bulat hitam bersinar terkena cahaya obor sementara mulutnya tersungging memperlihatkan gigi taring yang sedikit lebih panjang dari manusia normal, terlihat tidak wajar.

"Tentu saja Murni, aku adalah dayang tunggal Kanjeng Ratu Nyi Gondo Mayit. Tentu semua yang ada di istana ini patuh tunduk kepadaku. Bila ada yang berani macam-macam denganku akan kuhancurkan roh mereka sampai berkeping-keping,  nah kau boleh panggil aku Ni Ayu atau Sukma."

Murni mengangguk seakan mengerti, padahal dalam hati ia merasa heran bagaimana mungkin ada anak usia beberapa tahun dibawahnya bisa berkuasa di Istana Jalma Mati. Apakah anak ini benar-benar anak manusia?

"Nah sudah sampai. Ini kamarku"

Murni menganga ketika sampai di sebuah ruangan yang luas dan megah. Daun pintu ruangan itu sangat lebar, lebih lebar dari pendopo desa Bakor. Didalamnya terdapat kamar yang mewah dengan permadani dan tirai sutra bernuansa merah darah. Meja dan kursi terbuat dari ukiran berwarna keemasan menghias apik,  di tengah ruangan terdapat tempat tidur yang sangat besar. Terlihat sungguh mewah.

Ni Ayu menggandeng Murni ke pinggir tempat tidur. Terasa empuk bagi Murni, jauh lebih nyaman daripada dipan keras beralas daun pandan miliknya di desa.

"Nyaman bukan? Selama kau menjadi sahabatku, kau boleh tinggal disini Murni." bujuk Ni Ayu. "Kau bahkan bisa bermain di ruang peristirahatan Nyi Ratu Gondo Mayit, tempatnya lebih luas dan indah daripada ruangan ini"

"Te-terimakasih Ni Ayu, pasti banyak anak lain yang senang tinggal di istana semegah ini" ujar Murni dengan sedikit berbohong.

Murni menoleh kesekeliling, jika saja ini adalah istana manusia tentu dia akan sangat kegirangan. Sayangnya dia ada di kerajaan Demit. Nyawanya bisa melayang kapan saja ditangan para penghuni.

Wajah Ni Ayu mendadak muram. "Selama ini tidak ada anak lain yang mau bermain bersamaku. Semuanya selalu ketakutan padaku. Yang mereka lakukan hanya menangis  dan menangis. Membuatku sebal akhirnya kuumpankan saja kepada dedemit hutan, jadi pengganjal perut." ujar Ni Ayu berterus terang. Mukanya tidak menunjukkan rasa penyesalan dan masa bodoh. "Hanya kamu satu-satunya teman sepantaran yang berani kuajak bicara, aku sungguh senang"

Wajar jika mereka menangis ketakutan, sebab kau bertindak sungguh kejam terhadap bangsa manusia, kau potong tubuh mereka layaknya daging cacah. Mungkin jika kau sudah bosan bermain denganku maka kau akan menyingkirkanku pula, aku-Murni tak lebih dari boneka mainanmu saja, pikir Murni.

Murni merasa terjebak di sangkar emas, dia tak mau harus menemani gadis cilik ini selamanya. Ni Ayu memang menjamin keselamatannya, tetapi siapa yang menduga kedepannya akan terjadi apa. Mungkin junjungannya Nyi Ratu Gondo Mayit ingin meminum darahnya? Dia harus tetap ingat dan waspada,  mencari jalan kabur bila ada kesempatan.

"Kok bengong Murni,  ayo kita harus bersiap. Sebentar lagi acara besar ritual Tumbal Kembar akan berlangsung. Kita harus pergi ke lapangan sesegera mungkin." tukas Ni Ayu sambil mengangsurkan sebuah kain yang terlipat.

LARANTUKA  PENDEKAR CACAT PEMBASMI IBLISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang