11. Ayah Bunda Pamit

1K 77 0
                                    

Hari ini Jasmine dan Arya akan pergi ke luar kota untuk mengikuti piknik yang di selenggarakan kantor Arya. Mereka akan ke kantor Arya terlebih dahulu yang menjadi titik kumpul, lalu berangkat bersama dengan karyawan lainnya menggunakan bis yang sudah disewa.

Mereka menuruni tangga sambil mengangkat satu koper ukuran besar. Sedangkan Jihan, Julian, dan Julio, mereka sudah berada di teras rumah untuk berpamitan pada Arya dan Jasmine.

Tak lama, Arya dan Jasmine keluar menemui kedua anaknya dan satu menantunya sambil menyeret koper besar milik mereka.

"Kita anter aja ya, Bun," tawar Jihan. Jasmine menggeleng. "Nggak usah. Ayah tadi udah pesen taksi online kok. Kalian berangkat sekolah aja."

"Kita bisa kok antar Ayah sama Bunda dulu." Kali ini ganti Julio yang menawarkannya.

"Nggak usah, Yo. Kalian sekolah aja." Arya melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Udah setengah tujuh, nanti kalian telat."

"Yaudah kalo nggak mau dianter, kita tungguin taksi Ayah sama Bunda dateng aja ya," pinta Jihan. "Boleh ya, Bun?" Terlihat sekali gadis itu benar-benar ingin melihat kepergian mertuanya itu.

Jasmine menoleh pada Arya seolah meminta persetujuan. Wanita itu takut jika karena kepergiannya ini membuat anak-anak dan menantunya itu malah telat sekolah, walaupun bisa saja mereka bertiga ijin untuk berangkat sedikit terlambat. Arya menjawab dengan anggukan.

"Ya udah, boleh." Jasmine mengangguk sambil menyungginggkan senyum meneduhkannya. Jihan yang mendengar itu, tersenyum sumringah. Ia melihat ke kanan, disana ada Julian yang selalu menampilkan wajah datar dan acuh di suasana apapun. Lalu Jihan memalingkan wajahnya ke kiri, disana ada Julio yang saat itu juga sedang menatapnya dengan senyuman.

Tin... Tin...

"Itu taksinya udah dateng," ujar Arya yang membuat semuanya mengalihkan pandangannya kearah sumber suara. "Yuk." Arya menarik pinggang Jasmine sedangkan tangan satunya menarik koper. Mereka berdua berjalan menuju taksi diikuti Jihan, Julio, dan Julian.

Arya memberikan kopernya pada supir taksi agar dapat dimasukkan ke dalam bagasi. Jasmine memeluk menantu kesayangannya. "Bunda hati-hati, ya," ucap Jihan.

"Iya sayang." Jasmine mengelus rambut belakang Jihan dan menyunggingkan senyum menenangkan. "Kamu mau oleh-oleh apa?"

"Nggak usah oleh-oleh apapun, Bun. Bunda sama Ayah pulang selamat aja udah seneng kok." Jasmine memeluk Jihan lagi dengan erat. "Kamu emang menantu yang baik, sayang. Nggak salah Bunda pilih kamu."

Julian yang saat itu berada di sebelah gadis itu, hanya melirik sinis. Cari muka, begitu pikirnya. Julian sangat benci dengan sifat Jihan yang menurutnya sok cari muka dihadapan orang tuanya. Gadis itu seolah-olah adalah menantu terbaik di dunia dan sepanjang masa. Tapi menurut Julian, gadis itu bukanlah istri yang diharapkan olehnya, memimpikannya saja ia amit-amit.

Jihan mencium tangan Arya. "Kamu baik-baik di rumah," ucap Arya perhatian kepada menantunya sambil mengelus sayang kepalanya. Jihan mengangguk, sebagai jawaban. "Iya, Ayah."

Arya melirik pada Julian yang tepat berada di belakang Jihan. "Yan, jagain istrinya, yang perhatian, jangan cuek-cuek." Mendengar itu, Julian hanya mendengus dan memutar bola matanya malas. "Hmm." Ia hanya bergumam sebagai jawaban.

"Yaudah kalau gitu, Ayah sama Bunda berangkat ya." Setelah itu,  Arya memeluk pinggang Jasmine dan menggiringnya masuk ke dalam taksi.

Taksi itu segera melaju meninggalkan kawasan rumah untuk menuju tujuan yang dituju.

"Lo berangkat bareng Julio," ucap Julian dingin setelah taksi yang membawa kedua orangtua itu sudah tak terlihat lagi dibalik tikungan. Ia langsung berbalik tanpa menunggu jawaban Jihan untuk menuju garasi dan mengambil motor hitamnya. Cowok itu segera menaikinya dan mulai melajukannya meninggal Julio dan Jihan yang belum beranjak sama sekali dari tempatnya.

Julio menoleh pada Jihan yang fokusnya masih pada sosok Julian yang mulai menghilang di balik tikungan. "Ayo, berangkat," ajak cowok itu.

"Hah?" Jihan langsung menoleh dengan cepat dan menampilkan raut bingungnya.

"Kata Julian, lo berangkat bareng gue."

"Nggak usah, gue berangkat sendiri aja."

"Lo tuh suka banget sih nolak kebaikan." Julio melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Udah jam 7 kurang 15 lho." Ia tersenyum jahil pada gadis itu. "Lo mau telat lagi?"

Jihan memajukan bibirnya. Ia kesal, kenapa ia tak memiliki pilihan untuk saat ini.

"Jadi gimana? Mau telat ato nebeng gue?" tanya Julio sambil menaik-turunkan alisnya. Usil.

Gadis itu meniup poninya kesal. Terpaksa ia harus memilih pilihan yang kedua, ia tak mau telat lagi karena ia sudah pernah terlambat dua kali. "Iya mau!" Setelah mengatakan itu, Jihan langsung berbalik begitu saja menuju garasi dan menunggu cowok itu di samping motor cowok itu.

Sedangkan Julio, cowok itu hanya bisa melongo. "Lah yang nawarin nebeng kan gue, ngapa sekarang jadi dia yang semangat?" tanyanya pada dirinya sendiri. Ia menggaruk kepala bagian belakangnya yang tak gatal sambil menyusul Jihan yang sudah menunggunya di sebelah motornya.

Julio langsung menaiki motornya diikuti Jihan di belakang. Cowok mulai menstater motor dan tak lama kemudian melajukannya meninggalkan kawasan rumah dan menuju ke sekolah.

Selama perjalanan, mereka hanya diam. Hanya ada suara kebisingan jalanan kota yang ramai, untung tak macet saat ini. Jika hal itu terjadi, bisa-bisa mereka akan terlambat dan Jihan akan mengalami ketiga kalinya terlambat ke sekolah. Bisa-bisa ia semakin menjadi bahan olokan. Udah nggak punya temen, penampilan cupu, siswa biasa-biasa saja, dan jangan ditambah lagi dengan tukang terlambat ke sekolah.

Saat sudah sampai di parkiran sekolah, Jihan langsung ngeloyor begitu saja tanpa menunggu Julio yang saat itu tengah menyimpan helmnya. Tentu saja saat melihat itu Julio hanya menggeleng pelan.

Dasar tukang kabur-kaburan, batin Julio.

***

Kegiatan Jihan di sekolah seperti biasa, hanya belajar, kena usilan Julio, tak memiliki teman, menatap taman belakang dari jendela kelasnya, dan saat pulang ia lebih memilih sendiri walaupun sebenarnya Julio sudah menawarkannya untuk pulang bersama.

Malam ini, ia hanya asik di kamarnya tanpa melakukan apapun. Sebenarnya ia tau jika di bawah sedang ada tamunya Julian, siapa lagi kalau bukan Jingga. Cowok itu seperti bebas dengan perginya Ayah dan Bunda. Ia bisa mengajak Jingga dengan bebas berpacaran disini.

"JIHANNN!!!" ia berdecak, tapi tak urung tetap beranjak dari ranjangnya saat Julian memanggilnya. Ia menuruni tangga, terlihat dari sana cowok itu tengah merangkul mesra adiknya. Jihan hanya tersenyum kecut.

"Kenapa?" tanya Jihan saat sudah berada dihadapan Julian dan Jingga.

"Kak, bikinin aku mie kuah pedes dong," pinta Jingga. "Aku laper nih."

"Kenapa nggak delivery aja, kan lebih cepat," bantah Jihan dengan halus.

"Lo tinggal lakuin aja apa susahnya sih hah!" sahut Julian dengan sinis dan tatapan tajam.

"Iya." Jihan tak ingin ada perdebatan panjang antara mereka hanya karena mie kuah, sehingga ia menyetujuinya saja. Jihan langsung berjalan menuju dapur dan membuatkan mie seperti permintaan Jingga.

***

Fairahmadanti1211

Julian Untuk Jihan [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang