Bab 2

481 18 3
                                    

Pagi itu, suasana masih begitu hening. Langit masih menyisakan warna lembut fajar, sementara sinar matahari pertama perlahan menyusup melalui jendela-jendela besar yang menghadap cakrawala kota. Udara sejuk pagi hari merambat masuk, membuat pria yang tertidur di ranjang king-size itu menggeliat pelan. Cahaya mulai menyentuh wajahnya, memaksanya kembali ke dunia nyata.

Dengan mata yang masih setengah tertutup, ia mengeratkan pelukannya pada bantal guling empuk di dadanya. Tapi, tunggu dulu—apa yang sedang dia peluk? Guling? Ia tersentak, segera terbangun sepenuhnya, lalu menatap bingung pada guling yang sejak tadi ia dekap erat. Baru tersadar, ia menyapu pandangan ke sekeliling ruangan, merasakan kekosongan yang aneh. Gadis yang ia peluk semalaman sudah tak lagi berada di sisinya. Sepi mengisi ruang luas penthouse itu, hanya menyisakan dia dan kehampaan yang terasa.

"Elle," gumamnya lirih, sambil menyisir tiap sudut kamar dengan pandangan resah, berharap menemukan sosok gadis bermata emas itu. Kosong. Peredaran darahnya seketika terasa membeku ketika ia menyadari bahwa Elle tak ada di mana pun. Dadanya berdegup tak karuan; ia menahan napas sejenak sebelum akhirnya mengumpat pelan, menahan luapan rasa frustasi yang mendesak.

Dengan cepat, ia meraih kunci mobil, jari-jarinya menggenggamnya erat sebelum ia melesat pergi, tak peduli pada pagi yang masih terlalu dini. Di kepalanya hanya satu pikiran—menemukan Elle. Gadisnya? Dia tersentak sejenak. Apakah ia masih memiliki hak untuk menyebut Elle sebagai miliknya?

Sekilas, percakapan dengan Sarah kembali berputar dalam ingatannya. Axel masih bisa mengingat dengan jelas setiap kata yang diucapkan Sarah padanya—kata-kata yang meruntuhkan semua yang selama ini ia anggap baik-baik saja. Hal yang tak pernah ia bayangkan ternyata menimpa bunga mataharinya. Dadanya terasa sesak, nyeri yang tak mampu ia jelaskan mencabik hati tiap kali mengingat betapa kerasnya ia berusaha melindungi Elle. Selama ini, ia bersumpah untuk menjaga gadis itu dari segala bahaya dan masalah, namun sekarang seseorang begitu mudah berani menyentuh gadisnya, merusak segala mimpinya. Membuat cahayanya meredup.

Flashback

"Beberapa tahun belakangan ini adalah masa yang paling berat bagi karir Elle. Kau tahu betul, bertahan di dunia hiburan itu sangat sulit. Semakin lama, semakin banyak model-model baru yang bermunculan," kata Sarah dengan nada serius. "Karir Elle saat itu benar-benar berada di ujung tanduk, apalagi mengingat dia selalu menolak tawaran film. Tekadnya untuk tetap menerima tawaran fashion show, pemotretan, menjadi brand ambassador dan iklan saja. Sementara tawaran yang datang bermain film dan beberapa reality show ."

Suasana tampak hening sejenak. Sarah menundukkan kepala, menahan isakannya yang hampir keluar. Rasa sakit dan penyesalan melanda saat mengingat kejadian itu; perasaan seperti seorang ibu yang kejam, terpaksa melihat anaknya berjuang tanpa bisa memberikan bantuan. "Ini semua salahku. Kalau saja aku tidak menerima tawaran Max yang ingin bertunangan dengan anakku, mungkin semua tidak akan menjadi sesulit ini," ucap Sarah, suaranya dipenuhi penyesalan.

"Max?" Axel mencoba mengingat nama itu, terasa tak asing di telinganya. "Apa maksudmu Maximilian Rex?" Mendengar nama itu, seketika pikiran Axel dipenuhi dengan gambaran seorang pria karismatik yang kerap menghiasi layar televisi dan majalah. Seseorang yang dikenal dengan pesona dan ambisi tinggi di dunia hiburan. Apa hubungannya Maximilian dengan Elle? Rasa ingin tahunya semakin membara, menyadari bahwa mungkin ada lebih banyak cerita yang tersimpan di balik hubungan mereka.

"Yahh.. Pria itu tiba-tiba datang padaku, seolah-olah menjadi seorang superhero yang akan menyelamatkan karir Elle. Dia berjanji akan memberikan tawaran show untuk perancang baju terkenal saat ini, tapi dengan syarat mereka harus bertunangan terlebih dahulu. Saat itu, aku benar-benar tergiur oleh tawarannya. Lagipula, bertunangan dengan pria itu bukanlah hal buruk, mengingat dia adalah pria kaya. Namun... dugaanku salah."

Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang