BAB 3

10 1 0
                                    

Suasana pesta yang mewah memenuhi ballroom yang megah, dihiasi lampu kristal berkilauan dan wallpaper sutra berwarna emas. Tamu-tamu mengenakan gaun malam anggun dan tuxedo rapi, sementara musik orkestra mengalun lembut di latar belakang. Meja-meja didekorasi dengan bunga segar dan lilin menyala, menciptakan suasana hangat dan intim. Aroma hidangan lezat menyebar di udara, sementara pemandangan kota yang berkilauan tampak melalui jendela besar, menambah pesona malam yang tak terlupakan.

Axel tak pernah menyangka bahwa Marsha akan menghadiri perayaan ini. Sebelumnya, wanita itu mengabari bahwa ia tidak bisa datang karena masih memiliki beberapa pekerjaan yang belum selesai. Namun malam ini, Marsha berdiri dengan percaya diri di hadapan keduanya.

Marsha mengenali wanita yang kini berdiri anggun dengan penampilan percaya diri, menatapnya datar tanpa merasa bersalah. Apa wanita itu tidak tahu bahwa mereka sudah bertunangan? Perasaan waswas mendera Marsha, terutama karena ia tahu betapa Axel memuja Elisa. Kepergian gadis itu memberikan peluang bagi Marsha untuk mendekati Axel, seolah membuka jalan baginya untuk merebut perhatian yang selama ini terasa sulit dijangkau.

Marsha melangkah mendekati mereka dengan senyum lembut, seakan kehadiran Elisa tak sedikit pun mengusik ketenangannya. Ia menatap sekilas ke arah Elisa, lalu mengalihkan pandangan hangatnya kepada Axel. "Tadinya aku ingin memberikan kejutan," ujarnya dengan nada ramah yang terjaga. "Ternyata, justru aku yang lebih terkejut melihat kedatangan tamu spesial."

Elisa mendengus pelan. Dia sebenarnya tak keberatan jika Axel menjalin hubungan dengan wanita lain—kecuali Marsha. Wanita ini selalu berhasil mengusiknya sejak dulu, sejak ia dan Axel mulai dekat. Elisa tahu betul bahwa kehadirannya membuat Marsha merasa terancam, tapi Marsha tetap bisa memasang wajah tenang, seakan tak sedikit pun cemburu. Itu hanya membuat Elisa semakin waspada, menyadari betapa lihainya Marsha menyembunyikan perasaannya di balik senyum ramah itu.

Panggilan dari pembawa acara untuk Axel memberikan kata sambutan sebagai pembuka acara membuatnya sedikit bernafas lega. Setidaknya, ia masih memiliki waktu untuk menjelaskan keberadaan Elisa kepada Marsha. Axel tidak ingin menyakiti Marsha; mereka telah berteman sejak kecil, dan ia sendiri yang memutuskan untuk menerima pertunangan ini.

"Aku pergi sebentar. Aku harap kalian bisa berbicara santai. Aku tak perlu memperkenalkan kalian, kan?" ujarnya sambil tersenyum sebelum beranjak pergi. Marsha membalas dengan senyum manis, menggelengkan kepala seolah mengisyaratkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Suasana di antara mereka terasa sedikit lebih ringan, meskipun ketegangan masih menyelimuti percakapan yang akan terjadi.

"Well, princess, kita telah kembali?" Marsha masih mempertahankan senyum ramahnya, membuat Elisa merasa jengah. Wanita ini selalu menganggapnya sebagai musuh, seolah-olah dia telah mencuri Axel darinya.

"Seingatku, kita tak pernah sedekat itu," jawab Elisa dengan nada yang tak kalah ramah. Senyum merekah di wajahnya, sebagai balasan atas sikap Marsha yang pura-pura bersahabat. "Dan berhentilah menganggapku saingan. Bukankah seharusnya kau berterima kasih padaku?" jawabnya sambil kembali menyeringai.

"Kau..." jawaban kurang ajar Elisa membuat Marsha terdiam, kesal hingga tak bisa menemukan kata lain untuk membantah. Wajahnya, yang awalnya ramah, kini berubah menjadi penuh amarah. Ternyata, Elisa sudah mengetahui hubungan Marsha dan Axel, namun sikap angkuh Elisa seolah menunjukkan bahwa ia tak peduli dengan status mereka. Marsha merasakan kemarahan dan ketidakadilan dalam situasi ini, bertekad untuk tidak membiarkan Elisa terus mengganggunya. 

Suara tepukan tangan seseorang di belakang mereka mengusik ketegangan di antara keduanya, memaksa mereka membalikkan badan untuk melihat siapa yang tiba-tiba bergabung. Elisa terkejut ketika sosok pria yang selama ini tidak ia harapkan muncul di depannya, berdiri dengan sikap angkuh. Jantungnya berdegup kencang, dan ia mengepalkan kedua tangan, berusaha tersenyum tipis untuk menutupi kegugupan dan ketakutan yang mendera.

Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang