🌟1. Bayangan Hitam

102 15 2
                                    

Pada suatu sudut waktu paling purba yang tertinggal jauh di kedalaman palung zaman, tersebutlah ia yang mendiami kesunyian. Sosok kegelapan, namanya. Meski begitu, sebenarnya ia dibangunkan dari nyala api paling terang.

Sosok kegelapan itu membuka mata dan menyentuh sisi kelam dirinya yang terpantul dalam tabir dimensi beku. Di sana ia ditemani segala keindahan yang telah kehilangan daya pikatnya. Ia... memiliki sayap hitam yang kokoh—lagi besar, tetapi tidak pernah membuatnya mampu terbang melintasi tabir. Hingga di suatu ketika, ia memohon kepada Yang Menciptakannya agar mampu melintasi tabir dimensi beku dengan embusan napas yang melelehkan.

Permohonannya dikabulkan! Dan itu menjadi awal dari segala kekacauan.

***

Pukul tiga sore, hari Minggu. Aku mengajak sepatu kets putihku menapaki tanah merah khas pegunungan. Bebatuan kapur tampak menyembul di permukaannya yang padat. Jalan yang sedang kulalui agak naik. Beruntung aku memakai celana jeans yang nyaman, sehingga langkah lebar dengan mudah kubuat.

Angin berembus naik ke bukit dari arah belakangku. Kecupan lembutnya membuat rambut panjangku yang tergerai serupa tenunan hitam yang melambai-lambai. Kuhela napas hanya untuk mengabaikannya, lantas mengencangkan jaket, serta membetulkan posisi tas ransel biru di punggungku.

Kembali menatap ke depan, kulihat rumah panggung bermaterial kayu cokelat mengkilap menyambut di depan sana. Sekilas, dari jarak yang masih agak jauh kuamati ukurannya tidak begitu besar, sebuah jendela mungil menghiasi fasadnya. Rumah panggung semacam itu pernah kulihat saat membaca majalah tentang rumah milik suku pedalaman. Waktu itu aku hanya melihat di gambar, sekarang aku melihatnya secara langsung, bahkan masih belum percaya akan tinggal di sana.

Langkahku menaiki bukit kian meragu, sementara rumah itu semakin jelas memperlihatkan kesederhanaannya. Tak ada pagar besi atau kayu di halamannya. Area depan rumah itu terhampar luas. Sebagian tanah merahnya diselimuti rerumputan hijau. Mungkin halaman seperti itu akan menyenangkan jika aku seseorang yang menyukai sepak bola, atau olahraga outdor lainnya. Sayangnya, kebetulan aku yang dari kecil memiliki anemia ini lebih nyaman menyendiri, berkutat dengan buku, laptop, atau ponsel daripada aktivitas di luar rumah. Sudah bisa kupastikan, halaman rumah itu tidak akan berpengaruh banyak untukku di masa mendatang.

Tinggal beberapa meter lagi hingga langkahku mencapai tangga rumah panggung yang rencana akan kutinggali. Sekali lagi—sebelum membuat tubuhku benar-benar tertelan dalam keasingan rumah itu—aku memandang berkeliling. Sebelumnya aku tinggal di perkotaan yang cenderung gersang, dan kini menjadi cukup terkesan ketika melihat pepohonan lebat yang mengisi sisi kanan dan kiri rumah itu, bahkan sepertinya di belakang rumah juga dipenuhi pepohonan rimbun. Sebab sepanjang mata memandang, kulihat hanyalah puncak pepohonan tinggi yang menghubungkan atap rumah dengan horison langit.

Ah, apakah aku akan terbiasa dengan lingkungan baru ini? Jujur saja, aku memiliki kesulitan beradaptasi. Maka sekarang aku sedikit khawatir.

Berseling gugusan hutan kecil yang lebat di sisi kiri, ada rumah panggung yang serupa rumah di depanku. Bedanya, rumah itu bercat putih. Sepertinya kehadiran orang baru menyita perhatian para penghuni rumah itu, terlihat dari para penghuninya yang tengah berhimpun di teras rumah seraya menatapku dengan alis bertaut. Tentu saja sorot tajam dari serbuan mata itu sukses membuatku kikuk.

Cukup. Aku tidak bisa membalas tatapan mereka lebih lama lagi.

Menunduk, benakku menyimpan pertanyaan tentang tetangga baruku itu. Dengan kesan pertama yang seperti ini, bagaimana perangai mereka? Bisakah kami menjadi tetangga yang baik? Atau, mereka yang selama ini disebut suku pedalaman dan akan mengacuhkanku? Entahlah. Dengar-dengar, pulau Neilborn ini sudah mulai diramaikan para pendatang, khususnya para pekerja di perusahaan East Neilborn Coal (ENC) yang berasal dari luar pulau lalu membawa serta keluarganya. Tidak banyak yang aku tahu tentang pulau Neilborn, pun dengan perusahaan ENC tempat Ayahku bekerja. Yang pernah kudengar, usia perusahaan itu satu tahun lebih tua dariku yang saat ini berusia 17 tahun.

When the Shadows FallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang