Titik merah pada kanvas jingga

192 26 24
                                    


Disclaimer : Assassination Classroom belonged to Yusei Matsui

.

.

.

Siapa bilang bahwa hasil tidak akan membohongi usaha? Buktinya pria ini jelas terbohongi. Apa ini karma untuknya? Apakah karena sifat sombong akan posisi tingginya? Tidak ada yang tau, pemuda ini juga tidak ingin bersikap seperti itu. Di masa kecilnya dia sudah membiasakan bersikap rendah hati, namun kesombongan apa yang merusak masa depannya? Bukan, dia tidak bisa mengatakan bahwa ini kesalahan dari paksaan ayahnya. Bukankah dia dilarang menyalahkan orang lain. Oh ayolah... ini bukan kesalahannya kenapa dia juga yang menaggung pedihnya? Dan mengetahui kebenarannya setelah waktu yang panjang berlalu. Jika saja dia bersabar menunggu sedikit lebih lama dia pasti bisa melakukannya bukan.

'Haaah...' menghela napas lelah, pemuda ini lebih memilih menutup bukunya.

'Percuma bukan, mengeluh seperti ini. Toh, semua sudah berlalu' kali ini dia berdiri dari bangkunya, menatap matahari yang mulai terbenam. Menatap heran kearah lapangan sekolah. 'Kenapa mereka masih juga bermain? Bukankah malam sebentar lagi akan datang?' pikirnya.

Ini tidak masuk akal, semua yang ia lakukan saat ini adalah untuk kebaikannya. Tapi mengapa dia tidak merasa baik sama sekali, tidak ada rasa senang di dalam dirinya. "Aku... apa yang selama ini aku kerjakan? Apa aku senang dengan hasil ini" gumamnya masih menatap keluar jendela, manik violetnya bertabrakan dengan golden hour pada wajahnya.

"Yoo shuu-chan~!" seru seseorang agak dilagukan dari dibalik pundaknya.

Ah, suara ini. Pemuda menyebalkan ini datang lagi. Apa dia masih ada niat mengganguku?

"Ada apa Akabane-kun?" masih dalam posisi yang sama, niatnya sih dia tidak ingin menggubris apapun perkataan pemuda dengan surai merah dibelakangnya. Tapi masalahnya, jika tidak segera dijawab maka pemuda ini akan makin menyebalkan. Lagipula peduli sekali dengan masa lalu, sekarang tinggal mereka berdua yang ada di satu sekolah menengah atas Kunugigaoka. Lagi pula mau sekesal apapun pemuda ini tidak akan bisa merubah kebiasaan si surai merah dalam memanggilnya. 'Shuu-chan'? bukankah itu panggilan untuk perempuan? Namanya itu Asano Gakushuu.

Pemuda bersurai merah itu mendekat setelah tau bahwa Gakushuu tidak akan menggubrisnya. Dilihatnya lagi surai si jingga yang berkibar dihembus angin. Pemandangan yang indah, melihat Gakushuu dengan surai jingganya yang menyatu dengan langit senja, satu satunya hal yang tidak bercampur dengan jingga hanyalah iris terangnya. Sepertinya ini akan jadi kebiasaan baru untuk si pemuda bermarga Akabane, memandang Gakushu yang menyatu dengan jingga dan mata violetnya yang menyala diantara para warna jingga. Ah, pemuda ini ingin bertahan seperti ini. Selamanya.

"Jadi apa keperluanmu denganku?" gakushuu memecah keheningan.

Hampir saja terlupa dengan niatnya menghampiri Gakushuu, pemuda itu mendekat ke sisi Gakushuu, berdiri berdampingan seperti ini membuatnya bingung harus mengatakan apa.

"Katakan saja" ucap Gakushuu tiba-tiba seolah membaca pikiran pemuda disebelahnya.

Iris jingga yang lainnya melebar. "Kau bisa membaca pikiran ya?" tanya pemuda bermarga Akabane itu sengaja bermain main.

"Jangan bercanda! Waktuku tidak banyak" ujar Gakushuu ketus "apalagi untuk meladeni orang sepertimu".

Ah, rasanya menusuk hati. Tapi si merah bisa apa, toh dia sudah bertahun tahun dibenci. Jadi bukan masalah baginya jika diberi ucapan kasar barang sekali atau dua kali. Tapi entah kenapa menerima ucapan kasar dari pemuda disebelahnya membuat dada Akabane sesak. Entah ini dikarnakan Gakushuu yang tidak biasa berkata sarkas kepada orang, atau dikarnakan perasaan karena kini mereka berdua ada di sekolah yang sama dan memaksakan diri mereka agar berteman.

Titik merah pada kanvas jinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang