40. H-1

1K 101 3
                                    

Zefanya, Ifa dan Ayana saat ini sedang menikmati matahari pagi dengan Asha dan Akino untuk terakhir kalinya sebelum Zefanya menikah, dan juga Ayana yang akan segera kembali ke negara asalnya.

"Gue cari minuman dulu ya Fa," pamit Zefanya pada Ifa yang diacungi jempol.

Luka goresan pisau pada pinggangnya telah berhasil ia bersihkan tadi malam sendirian di kamar mandi, tentu saja setelah Ayana dan Ifa tidur nyenyak.

Zefanya memandang kearah anak laki-laki yang ia perkirakan berumur 7 tahun sedang bermain sendirian sambil mengamati rumput yang ia pijaki.

Entah apalagi yang menggerakkan hatinya untuk menghampiri anak laki-laki tersebut.

"Hai," sapa Zefanya kaku, walaupun begitu, ia berhasil membuat anak laki-laki tersebut menolehkan kepalanya.

"Hai?" sapanya ragu-ragu.

"Tenang saja, aku bukan orang jahat kok," ucap Zefanya masih dengan nada ragu.

'Bohong,' memangnya orang waras mana yang mengira dirinya baik?

"Ya, sepertinya kamu tidak berniat jahat," jawabnya.

"Namaku Zefanya, kau mungkin bisa panggil aku kak?" ucap Zefanya mengulurkan tangannya.

"Namaku Kahfi," jawabnya.

"Mengapa bermain di taman sendirian? Dimana temanmu? Atau mungkin, keluargamu?" tanya Zefanya yang juga merasa tak enak untuk bertanya perihal keluarga. Hal terkait keluarga selalu menjadi topik sensitif untuknya.

"Aku rasa aku tak ditakdirkan untuk memiliki seorang teman dan sebuah keluarga," jawabnya.

"Mengapa kau berpikir demikian?" tanya Zefanya yang akhirnya duduk di samping anak bernama Kahfi tersebut.

"Semua orang disekitarku bilang bahwa aku terlalu bodoh untuk memiliki teman, diumurku yang sudah delapan tahun, aku bahkan tidak naik kelas karena belum bisa membaca," jawabnya terlihat sedih.

"Jadi, kau datang kesini sendirian?" tanya Zefanya lagi.

"Ya, aku datang sendirian, rumahku tidak begitu jauh kok dari sini," jawabnya.

"Bersedia main dengan teman-teman ku?" ajak Zefanya.

"Bisakah?" tanyanya yang Zefanya angguki.

Kahfi terlihat begitu senang melihat Asha dan Akino, ia bahkan memberinya dua bungkus permen miliknya yang tersisa dikantong saku celananya.

"Mereka belum bisa makan permen," ucap Zefanya yang membuat Kahfi mengangguk, ia akhirnya mengantongi kembali permen susunya.

"Aku ahli berlari, mau lomba lari?" ajak Zefanya yang kemudian ditanggapi semangat.

Zefanya memberi Kahfi sekotak susu pisang requestnya yang kemudian dijawab dengan ucapan terimakasih.

"Mau tahu alasanku belum bisa membaca?" tanya Kahfi tiba-tiba.

"Memangnya boleh?" tanya Zefanya yang diangguki oleh kepala mungil anak tersebut.

"Huruf yang kubaca selalu terlihat seperti menari dan hilang pergi, mereka terbang ke langit dan terlihat seperti kupu-kupu, bukankah itu menarik kak?" tanyanya.

Zefanya ingat sesuatu, ia menderita hal yang sama dengan Kahfi sewaktu kecil.

"Apa orangtuamu tahu tentang huruf yang seakan-akan berlari?" tanya Zefanya.

"Sudah, tapi, mereka hanya bilang bahwa aku bodoh dan terlalu banyak berhalusinasi. Mereka kadang mengunciku di kamar semalaman jika membahas hal tersebut," ucapnya.

Disleksia adalah suatu gangguan belajar pada anak-anak, yang ditandai dengan kesulitan membaca, menulis, mengeja, atau berbicara dengan jelas. Gangguan belajar ini masuk ke dalam gangguan saraf pada bagian batang otak. Bagian otak inilah yang memproses bahasa.

"Mau dengar cerita?" tawar Zefanya.

"Boleh,"

"Da Vinci lahir di Italia pada 15 April, di abad ke-15 atau lebih tepatnya tahun 1452. Semasa hidupnya, Da Vinci memberi pengetahuan besar pada peradaban. Tak banyak yang dipelajari Da Vinci muda saat disekolah, ia juga sulit membaca, menulis, dan matematika dasar. Tapi, sejak belia, bakat menggambarnya sudah terlihat,"

"Aku juga gemar menggambar, tapi ayah terkadang merobek kertas hasil gambarku, dia terlihat tak begitu menyukainya," jawab Kahfi.

"Mau tahu kabar tentang Da Vinci?" tanya Zefanya yang diangguki semangat.

"Karya lukisannya dipajang dan begitu dipuja-puja, di nobatkan sebagai lukisan paling indah sepanjang masa," ucap Zefanya.

"Bukankah dia tak bisa baca? Sama sepertiku?" tanya Kahfi.

"Kau bukan tak bisa Kahfi, hanya belum," koreksi Zefanya.

"Zef! Ayo pulang!" teriak Ifa.

Zefanya menatap Kahfi yang terlihat kembali murung.

"Duluan aja, gue mau main dulu sama Kahfi!" teriak Zefanya membuat mata Kahfi kembali berbinar-binar.

"Terimakasih telah menemaniku kak," ucap Kahfi membuat Zefanya mengangguk.

"Bisakah aku bertemu dengan orangtua mu?" tanya Zefanya.

"Untuk apa?" tanya Kahfi bingung.

"Hanya ingin berbincang," jawabnya.

"Ayo," ajak Kahfi yang sudah berdiri.

Zefanya telah sampai di rumah sederhana dengan satu motor di pekarangannya, Kahfi berteriak pada sang ibu begitu memasuki rumah.

"Permisi," ucap Zefanya begitu melihat wanita yang umurnya terlihat jauh lebih muda daripada dirinya menyambutnya dengan raut wajah bingung.

"Apalagi yang anak bodoh itu lakukan?!" amuk seorang laki-laki dengan jenggot yang cukup tebal.

"Tidak pak, Kahfi tidak melakukan apapun, dia anak baik," ucap Zefanya gugup.

"Cih, dia hanyalah anak bodoh yang tak bisa membaca," jawabnya.

Zefanya benar-benar mati-matian menahan amarahnya yang sudah diubun-ubun, apalagi ketika melihat ayahnya dengan mudahnya mengunci Kahfi di kamarnya.

"Pak, saya datang perihal Kahfi,"

"Tadi saya bertemu dengan Kahfi yang sedang bermain di taman sendirian, di bilang orang-orang menganggapnya terlalu bodoh untuk memiliki teman,"

"Dia memang bodoh, harusnya ku taruh saja di panti asuhan saat kakak sialanku menitipkannya," jawabnya.

Zefanya termenung mendengarnya.

"Kahfi adalah penderita disleksia pak, ia memiliki kesulitan membaca dan menghitung, kadang masalah tersebut juga bisa menggangu perkataannya," jelas Zefanya.

"Bukankah dia hanya murni bodoh? Kamu jangan coba membodohi saya dengan vonis bullshit semacam itu," balasnya.

"Baiklah, bisakah saya mengadopsi Kahfi?" tanya Zefanya yang membuat kedua mata orang dihadapannya terkejut bukan main.

Zefanya hanya akan mendapatkan omong kosong dari pria bodoh dihadapannya, orang semacam itu tak pernah percaya tentang keberadaan penyakit semacam disleksia atau bahkan ASDP semacam dirinya, yang ia tahu hanyalah orang-orang dengan gangguan tersebut hanya kurang ibadah atau bahkan mendapat laknat, ya, mereka sialan.

Jadi, daripada dia membuang-buang banyak waktunya untuk orang bodoh, Zefanya telah bersedia untuk mengadopsi, menjadi wali atau apapun untuk membimbing Kahfi.

Saat dirinya ketahuan disleksia waktu umurnya masih tujuh tahun, ibu dan ayahnya masih ada di sisinya, mereka juga melakukan apapun yang mereka bisa untuk membantu kesulitan Zefanya.

Tapi, hal itu tidak akan pernah terjadi pada Kahfi jika Zefanya tak mengambilnya dari dua orang tak becus semacam pasangan di depannya.

"Segeralah urus surat-surat adopsinya, aku akan dengan sukarela menyetujuinya," ucapnya membuat Zefanya makin kehilangan kata.

𝔃𝔂𝓷𝓲𝓼𝓬𝓱Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang